MENGENAL URF SEBAGAI SALAH SATU PERANGKAT PENGAMBILAN HUKUM SYARI’AT ISLAM (1)


MENGENAL URF SEBAGAI SALAH SATU PERANGKAT PENGAMBILAN HUKUM SYARI’AT ISLAM (1)

Oleh: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

 

A.      Pengantar

Agama Islam sebagai agama paripurna selalu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk melakukan perbuatan yang baik (amal sholeh) dengan berbagai cara yang telah disyari’atkan dalam agama Islam.

Syariat Islam adalah seperangkat pranata aturan yang memiliki dimensi vertikal dan horisontal. Dalam tatanan vertikal telah diatur hukum-hukum yang bersifat ta’abudi, sebagaimana tata cara shalat dan puasa. Dalam wilayah ini, Ketentan-ketentuannya berlaku sepanjang masa sebagaiamana adanya. Dalam tatanan hubungan horisontal yang menyangkut sesama manusia yang sebagian besar bersifat muamalah. Dalam wilayah ini ijtihad memiliki peranan strategis dalam menawarkan solusi dari berbagai problematika kehidupan, antara lain; qiyas, mashlahah mursalah, istihshan, ‘urf dan lainnya. Dalam menetapkan hukum melalui dalil tersebut, para ulama masih memperselisihkan penggunaannya.

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.

Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa
penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan
istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu
sendiri seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul
Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di
kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah            al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau
“Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum.

Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-‘Urf (selanjutnya
disebut sebagai ‘urf atau adat). Tulisan ini akan menguraikan tentang pengertian al-‘urf tersebut, syarat-syarat ‘urf, macam-macam ‘urf, kehujjahan ‘urf, dan kapan sesuatu itu disebut adat serta kaidah-kaidah yang berhubungan dengannya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

B.     Pengertian ‘Urf

Sebelum berbicara jauh membahas masalah ‘Urf sebaiknya membahas pengertiannya terlebih dahulu. Berikut ini kami akan memaparkan beberapa pendapat ulama mengenai pengertian ‘urf, diantaranya ‘urf secara
etimologi berasal dari kata arafa, yu’rifu (يعرف-عرف) sering diartikan dengan  al-ma’ruf (المعروف) dengan arti sesuatu yang dikenal”, atau berarti yang baik.  Kalau dikatakan عرف فلان اولي فلان (Sifulan lebih dari yang lain dari segi urfnya), maksudnya bahwa seseorang lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain.

Sedangkan menurut abdul Wahab Khallaf ‘urf adalah: Segala apa yang
dikenal oleh manusia dan berlaku padanya baik berupa perkataan, perbuatan
ataupun meninggalkan sesuatu
. Imam al-Ghazali pun memberikan pengertian urf sebagai berikut:

مااستقر في النفوس من جهة العقول
وتلقته الطباع السلبمة بالقبول

Keadaan yang sudah tetap pada jiwa manusia, dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat yang sehat.

Menurut Djazuli ‘Urf adalah “sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa” dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya”. Sedangkan menurut Muin, ‘urf adalah “sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan”.

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ‘urf itu merupakan sesuatu yang telah banyak dilakukan masyarakat baik perkataan maupun perbuatan sehingga telah menjadi suatu kebiasaan (adat) yang mana kebiasaan itu dianggap baik oleh masyarakat secara keseluruhan. Adapun dasar dari kaidah ini adalah bersumber dari sabda Nabi Muhammad SAW. sebagai berikut.

مَارَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ

Artinya: “Apapun yang menurut kaum muslimim pada umumnya baik, maka baik pula bagi Allah.”

العرف هو ماتعارفه الناس وساروا عليه من قول او فعل او ترك

Artinya: “Ialah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka mempraktekkannya, baik perkataan, perbuatan atau meninggalkan”.

 Oleh sebagian ulama ushul fiqh, ‘urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara ‘urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian antara ‘urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat di samping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.

Seperti dalam salam (jula-beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual-beli. Menurut syarat jual-beli ialah pada saat jual-beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam, barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akan jual-beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adata kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual-beli, maka salam itu dibolehkan.

Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma’ dengan ‘urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma’ ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan pendapatnya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada ‘urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seorang atau beberapa orang anggota masyarakat menetapkan pendapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakannya pula. Lama kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma’, masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada ‘urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.

Adapun mengenai perbedaan antara ‘urf dengan ijma’, Djazuli mengemukakan pendapatnya sebagai berikut.

  1. ‘Urf terjadi karena ada persesuaian dalam perbuatan ataupun perkataan  diantara umumnya manusia baik pada orang biasa, orang cerdik cendekiawan atau para mujtahid. Sedangkan di dalam ijma’ kesepakatan hanya terjadi di kalangan para mujtahid saja.
  2. Apabila ‘urf ditentang oleh sebagian kecil manusia tidaklah membatalkan kedudukannya sebagai ‘urf. Adapun dalam ijma’, apabila tidak disetujui oleh seorang mujtahid saja, sudah tidak bisa dianggap sebagai ijma’ lagi.
  3. Hukum yang dihasilkan berdasarkan ijma’ menjadi hukum yang pasti dalam arti tidak bisa dijadikan objek Ijtihad. Adapun hukum yang dihasilkan berdasarkan ‘urf bisa berubah dengan perubahan ‘urf itu sendiri.

Dalam sistem hukum Romawi, apalagi sistem hukum Adat, Adat ini menjadi sumber hukum. Dalam sistem hukum Islam, al-Adat dijadikan salah satu unsur yang dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. Penghargaan hukum Islam terhadap adat ini menyebabkan sikap yang tolerance dan memberikan pengakuan terhadap hukum yang berdasar adat menjadi hukum yang diakui oleh hukum Islam. Walaupun demikian pengakuan tersebut tidaklah mutlak, tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini dalah wajar demi untuk menjaga nilai-nilai, prinsip-prinsip dan identitas hukum Islam. Karena hukum Islam bukanlah hukum yang menganut sistem terbuka penuh, tetapi bukan pula sistem tertutup secara ketat. urf yang shahih menambahkan vitalitas dan dinamika hukum Islam.

C.      Syarat-Syarat ‘Urf

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa ‘urf itu diakui dalam hukum Islam, akan tetapi tidaklah mutlak, karena harus memenuhi beberapa syarat tertentu. Adapun syarat-syarat itu diantaranya adalah sebagai berikut.

  1. ‘Urf ini berlaku umum artinya dapat diberlakukan untuk mayoritas persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat.
  2. ‘Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya.  Artinya ‘urf itu lebih dulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
  3. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi.
  4. ‘Urf tidak bertentangan dengan nash, sehingga hukum yang dikandung nash tidak bisa diterapkan.
  5. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al-Qur’an atau sunnah.
  6. Pemakaiannya tidak menagkibatkan dikesampingkannya nash syari’ah termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan kesulitan.

‘Urf yang memenuhi persyaratan-persyaratan di atas digunakan oleh para ulama. Imam Malik misalnya mendasarkan hukum kepada ‘urf ahli Madinah. Abu Hanifah mempunyai perbedaan-perbedaan pendapat dengan pengikut-pengikutnya karena perbedaan ‘urf. Imam Syafi’I mempunyai qaul qadim dan qaul jaded antara lain disebabkan karena ‘urf yang berbeda. Perbedaan pendapat di sini adalah disebabkan perbedaan tempat dan zaman bukan karena perbedaan argumentasi dan alasan.

Kalau terjadi pertentangan ‘urf dengan dali syara’ di tengah-tengah masyarakat:

  1. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus atau rinci, maka ‘urf tidak dapat diterima, seperti kebiasaan orang jahiliyah menyamakan kedudukan anak yang diadopsi dengan anak kandung dalam masalah warisan harus ditinggalkan.
  2. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus, maka ‘urf harus dibedakan antara ‘urf al-lafzi dengan ‘urf al-amali. Jika ‘urf itu ‘urf al-lafzi, maka dapat diterima, dengan alasan tidak ada indikator bahwa nash umum tidak dapat dikhususkan oleh ‘urf. Seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Untuk ‘urf al-amali terjadi perbedaan pendapat ulama hanafiyah jika ‘urf al-amali bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum.
  3. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut, maka ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik lafzi maupun amali tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Seperti kerelaan anak perawan ketika dinikahkan  dengan diamnya, maka sesuai dengan perkembangan zaman tidak dapat diterima lagi, karena pada saat sekarang anak perawan sudah berani mengatakan iya atau tidak terhadap setiap perkataan orang tuanya.

D.      Macam-Macam ‘Urf

‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi objeknya, ‘utf terbagi atas:

  1. ‘Urf al-lafzi, yaitu kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafaz/ ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu sehingga makna ungkapan itu yang dipahami dan yang terlintas dalam pikiran masyarakat, seperti lafat daging, yang lebih banyak atau terlintas dalam pikiran masyarakat adalah daging sapi.
  2. ‘Urf amali, yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan, seperti kebiasaan libur bekerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu.

‘Urf ditinjau dari segi sifatnya, ‘urf terbagi menjadi dua macam, yaitu:

  1. ‘Urf qauli, ialah ‘urf yang berupa perkataan, seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun (daging), menurut bahasa berarti daging, termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan daging ikan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti daging binatang darat saja, tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).
  2. ‘Urf amali, ialah ‘urf berupa perbuatan. Seperti kebiasaan jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan mengucapkan shighat akad jual-beli. Pedahal menurut syara’, shighat jual-beli itu merupakan salah satu rukun jual-beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual-beli tanpa shighat jual-beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara’ membolehkannya.

Ditinjau dari sisi kualitasnya (bisa diterima atau tidaknya ‘urf oleh syari’ah), ada dua macam ‘urf, yaitu:

  1. ‘Urf shahih atau al-‘Adah Ashahihah yaitu ‘urf tidak bertentangan dengan syari’ah. Seperti memesan dibuatkan pakaian kepada penjahit. Bahkan cara pemesanan itu pada masa sekarang sudah berlaku untuk barang-barang yang lebih besar lagi, seperti memesan mobil, bangunan-bangunan, dan lain sebagainya.
  2. ‘Urf fasid atau ‘urf yang batal, yaitu ‘urf yang bertentangan dengan syari’ah. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan Islam.

Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi kepada:

  1. ‘Urf ‘aam, ialah ‘urf yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.

Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/anggota masyarakat yang dilayani, sebagaimana ditegaskan oleh hadits Nabi Muhammad SAW :

مَنْ شَفَعَ لِأَخِيْهِ شَفَاعَةً فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا فَقَدْ أَتَى بَابًاعَظِيْمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا

( رواه أحمد و ابودود )

Artinya: “Barangsiapa telah memberi syafa’at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa’at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba.

Hadits di atas menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.

  1. ‘Urf khash, ialah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadlan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.

Apabila kita perhatikan, penggunaan adat ini bukanlah dalil berdiri sendiri, tetapi erat kaitannya dengan al-maslahah al-mursalah. Hanya bedanya Kemaslahatan dalam adat ini sudah berlaku sejak lama sampai sekarang. Sedangkan dalam al-maslahah al-mursalah Kemaslahatan itu bisa terjadi pada hal-hal yang sudah biasa berlaku dan mungkin pula pada hal-hal yang belum biasa berlaku, bahkan  pada hal-hal yang akan diberlakukan.

Sehubungan dengan al-‘adah ashahihah inilah kemudian timbul kaidah:

اَلْعَدَةُ مُحْكَمَةٌ

Artinya: “Adat itu bisa dijadikan hukum”

Leave a comment