Monthly Archives: May, 2013

PENDEKATAN SUBYEK AKADEMIK DALAM KURIKULUM


PENDEKATAN SUBYEK AKADEMIK DALAM KURIKULUM

By: Muhammad Fathurrohman

(Guru Sang Dewo (SMPN 2 Pagerwojo) & Akademisi UIN Maliki Malang)

 

A.     Latar Belakang

Istilah kurikulum pendidikan Islam jika diurai maka menjadi kurikulum + pendidikan Islam. Kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang semula dalam bidang olah raga, yaitu curere yang berarti jarak terjauh lari yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start sampai finish. Istilah curere belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamus tahun 1856. Artinya adalah “1. a race cource; a place for running; a chariot, 2. a cource in general; applied particulary to the course of study in a university”. Kurikulum adalah suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan dari wal sampai akhir. Kurikulum juga berarti Chariot, semacam kereta pacu pada zaman dahulu, yakni suau alat yang membawa seseorang dari start sampai finish. Jika dalam pendidikan Islam, maka konteksnya berubah yakni suatu hal yang harus dilalui oleh peserta didik dan pendidik yang sedang melakukan kegiatan pembelajaran.

Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan istilah Manhaj, yakni jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui manusia dalam bidang kehidupannya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik / guru juga peserta didik untuk menggabungkan pengetahuan, ketrampilan, sikap serta nilai-nilai.

Adapun pengertian kurikulum yang bermacam-macam dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan, namun selain itu nanti akan penulis tampilkan pengertian dari berbagai ahli yang lain:

  1. Pengertian kurikulum secara tradisional, kurikulum adalah semua bidang studi yang diberikan dalam lembaga pendidikan.
  2. Pengertian kurikulum secara modern, kurikulum adalah semua pengalaman aktual yang dimiliki siswa dibawah pengaruh sekolah.
  3. Pengertian kurikulum masa  kini, kurikulum adalah strategi yang digunakan untuk mengadaptasikan pewarisan kultural dalam mencapai tujuan sekolah.

Istilah kurikulum ini dipopulerkan oleh John Franklin Bobbit dalam bukunya The Curriculum yang diterbitkan pada tahun 1918. Menurut Bobbit, kurikulum merupakan suatu naskah panduan mengenai pengalaman yang harus didapatkan anak-anak agar menjadi orang dewasa yang seharusnya. Oleh karena itu kurikulum merupakan kondisi ideal dibandingkan kondisi real. Kurikulum diibaratkan sebagai “jalur pacu” atau “kendaraan” untuk mencapai tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan.

Hilda Taba, sebagaimana dikutip Nasution, menyatakan bahwa pengertian kurikulum yang terlampau luas bisa mengaburkan pengertian kurikulum itu sendiri sehingga menghalangi pemikirandan pengolahan yang tajam tentang kurikulum. Ia mendefinisikan, kurikulum adalah “segala usaha yang dilakukan oleh sekolah untuk memperoleh hasil yang diharapkan dalam situasi di dalam maupun di luar sekolah” Adapun BPNSP mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Awalnya kurikulum diterapkan dalam konsep sekolah atau pendidikan formal. Dalam pendidikan formal, kurikulum biasanya disusun oleh pemilik otoritas, misalnya National Curriculum for England untuk negara Inggris dan Departmen Pendidikan Nasional di Indonesia. Saat ini kurikulum juga digunakan dalam setting pendidikan informal, seperti kursus. Kurikulum dalam setting informal disusun oleh lembaga tersebut sesuai kebutuhan. Kurikulum memiliki fungsi strategis dalam pendidikan, walaupun bukan satu-satunya perangkat tunggal penjabaran strategi pendidikan. Fungsi kurikulum dalam peningkatan mutu pendidikan dan penjabaran visi tergantung dari kecakapan guru, ketercakupan substansi kurikulum, dan evaluasi proses belajar.

Dalam kurikulum, pasti terdapat yang namanya pendekatan kurikulum yang sesuai dengan tipologi filsafat pendidikan kurikulum tersebut sesuai yang diuraikan pada bab tipologi filsafat pendidikan. Salah satu pendekatan kurikulum tersebut adalah pendekatan subjek akademik. Pendekatan ini berpijak pada tipologi aliran filsafat parennialis esensialis. Pendekatan ini mempunyai karakteristik dan aplikasi yang berbeda dengan pendekatan yang lainnya, walaupun dapat dikatakan pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling tua daripada pendekatan lainnya.

B.     Pendekatan Kurikulum Subjek Akademis

Model kurikulum ini adalah model yang tertua, sejarah yang pertama berdiri, kurikulumnya mirip dengan tipe ini. Sampai sekarang, walaupun telah berkembang tipe-tipe lain, umumnya sekolah tidak dapat melepaskan tipe ini. Kurikulum subjek akademis bersumber dai pendidikan klasik parenialisme dan esensialisme yang berorientasi pada masa lalu. Semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang telah ditemukan oleh pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan adalah memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya masa lalu tersebut. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. Belajar adalah berusaha menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru.

Isi pendidikan diambil dari setiap disiplin ilmu. Sesuai dengan bidang disiplinnya para ahli, masing-masing telah mengembangkan ilmu secara sistematis, logis dan solid. Para pengembang kurikulum tidak perlu susah-susah menyusun dan mengembangkan bahan sendiri. Mereka tinggal memilih bahan materi ilmu yang telah dikembangkan para ahli disiplin ilmu, kemudian mengorganisasinya secara sistematis, sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap perkembangan siswa yang akan mempelajarinya. Guru sebagai penyampai bahan ajar memegang peranan penting. Mereka harus menguasai semua pengetahuan yang ada dalam kurikulum. Ia harus menjadi ahli dalam bidang-bidang studi yang diajarkannya. Lebih jauh guru dituntut bukan hanya menguasai materi pendidikan, tetapi ia juga menjadi model bagi para siswanya.

Karena kurikulum ini sangat mengutamakan pengetahuan maka pendidikannya lebih bersifat intelektual. Nama-nama mata pelajaran yang menjadi isi kurikulum hampir sama dengan nama disiplin ilmu, seperti bahasa dan sastra, geografi, matematika dan sebagainya. Kurikulum subjek akademis tidak berarti hanya menekankan pada materi yang disampaikan dalam perkembangannya secara berangsur-angsur memperhatikan proses belajar yang dilakukan siswa. Proses belajar yang dipilih sangat bergantung pada segi apa yang dipentingkan dalam materi pelajaran tersebut.

Pendekatan subjek akademis dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing. Setiap ilmu pengetahuan memiliki sistematisasi tertentu yang berbeda dengan sistematisasi ilmu lainnya. Pengembangan kurikulum subjek akademis dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu mata pelajaran atau mata kuliah apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk persiapan pengembangan disiplin ilmu.

Menurut Sukamadinata, salah satu contoh kurikulum yang berdasarkan struktur ini adalah MACOS, yang merupakan kurikulum sekolah dasar, terdiri atas buku-buku, film, poster, rekaman, permainan, dan perlengkapan kelas lainnya. Kurikulum ini ditujukan untuk mengadakan penyempurnaan tentang pengajaran ilmu sosial dan humanitas dengan pengarahan dan bimbingan Bruner.

Para pengembang kurikulum mengharapkan anak-anak dapat menggali faktor-faktor penting yang akan menjadikan manusia sebagai manusia. Melalui perbandingan dengan binatang, anak mengetahui keadaan biologis manusia. Dengan membandingkan manusia dari suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, anak-anak akan mempelajari aspek-aspek universal dari kebudayaan manusia.

Terdapat tiga pendekatan dalam perkembangan kurikulum subjek akademis. Pendekatan pertama, melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan. Murid-murid belajar bagaimana memperoleh dan menguji fakta-fakta dan bukan sekedar mengingat-ingatnya. Pendekatan kedua, adalah studi yang bersifat integratif. Pendekatan ini merupakan respons terhadap perkembangan masyarakat yang menuntut model-model pengetahuan yang lebih komprehensif-terpadu. Pelajaran tersusun atas satuan-satuan pelajaran, dalam satuan-satuan pelajaran tersebut batas-batas ilmu menjadi hilang. Pengorganisasian tema-tema pengajaran didasarkan atas fenomena-fenomena alam, proses kerja ilmiah, dan problema-problema yang ada. ada beberapa ciri model kurikulum yang dikembangkan.

  1. Menentukan tema-tema yang membentuk satu kesatuan yang dapat terdiri atas ide atau konsep besar yang dapat mencakup semua ilmu atau suatu proses kerja ilmu, fenomena alam, atau masalah sosial yang membutuhkan pemecahan secara ilmiah.
  2. Menyatukan kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu. Kegiatan belajar melibatkan isi dan proses dari satu atau beberapa ilmu sosial atau perilaku yang mempunyai hubungan dengan tema yang dipilih/dikerjakan.
  3. Menyatukan berbagai cara/metode belajar. kegiatan belajar ditekankan pada pengalaman konkrit yang bertolak dari minat dan kebutuhan murid serta disesuaikan dengan keadaan setempat.

Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah fundamentalis. Mereka tetap mengajar berdasarkan mata pelajaran dengan menekankan membaca, menulis dan memecahkan masalah-masalah matematis. Pelajaran-pelajaran lain seperti ilmu kealaman, ilmu sosial dan lain-lain  dipelajari tanpa dihubungkan dengan kebutuhan praktis pemecahan masalah dalam kehidupan.

Jadi pendekatan subjek akademis adalah pendekatan pengembangan kurikulum yang menitiktekankan pada struktur ilmu dan sistematisasinya. Walaupun pendekatan ini mempunyai berbagai cabang pendekatan, namun intinya tetap sama, yaitu mengembangkan kurikulum dengan terlebih dahulu menetapkan mata pelajaran yang harus dipelajari oleh peserta didik.

C.     Ciri-Ciri Kurikulum dengan Pendekatan Subjek Akademis

Kurikulum subjek akademis mempunyai beberapa ciri berkenaan dengan tujuan, metode, organisasi isi dan evaluasi. Tujuan kurikulum subjek akademis ini adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses penelitian. Dengan berpengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu, para siswa diharapkan memiliki konsep-konsep dan cara-cara yang dapat terus dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas. Jadi para siswa harus belajar menggunakan pemikiran dan dapat mengontrol dorongan-dorongannya. Siswa harus menguasai apa yang sudah ada, yang berupa khasanah ilmu pengetahuan dari berbagai pakar, sebagaimana yang tertuang dari buku.

Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum dengan pendekatan subjek akademik adalah metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi siswa sampai mereka kuasai. Konsep utama disusun dengan sistematis dan diberi ilustrasi yang jelas untuk selanjutnya dikaji. Dengan metode yang penulis sebutkan di atas, diharapkan siswa akan menjadi lebih mengerti tentang materi dan bisa mengkaji materi juga menemukan solusi atas problematikanya sendiri.

Mengenai isi kurikulum, para siswa rata-rata mempelajari buku-buku standar yang telah terkodifikasi sejak lama, atau bahkan kitab-kitab klasik untuk memperkaya pengetahuan, serta memahami budaya masa lalu dan mengerti keadaan masa kini. Sukamadinata menyebutkan beberapa pola organisasi kurikulum dengan pendekatan subjek akademis:

  • Correlated Curriculum: pola organisasi materi atau konsep yang dipelajari dalam suatu pelajaran dikorelasikan dengan pelajaran lainnya.
  • Unified atau Concentrated Curriculum: pola organisasi bahan pelajaran tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu, yang mencakup materi dari berbagai disiplin ilmu.
  • Integrated Curriculum,: tidak adanya warna disiplin ilmu.
  • Problem Solving curriculum; pola organisasi isi yang berisi topik pemecahan masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan dengan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari berbagai mata pelajaran atau disiplin ilmu.

Tentang masalah evaluasi, kurikulum dengan pendekatan subjek akademis menggunakan bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam bidang studi humaniora lebih banyak digunakan bentuk uraian daripada test objektif. Bidang studi tersebut membutuhkan jawaban yang merefleksikan logika, koherensi dan integrasi secara menyeluruh. Bidang studi seni yang sifatnya ekspresi membutuhkan penilaian subjektif yang jujur, di samping standar keindahan dan cita rasa. Lain halnya dengan matematika, nilai tertinggi diberikan bila siswa menguasai landasan aksioma serta cara penghitungannya benar. Dalam ilmu kealaman penghargaan tertinggi bukan hanya diberikan kepada jawaban yang benar tetapi juga pada proses berpikir yang digunakan siswa.

D.     Aplikasi Pendekatan Subjek Akademis dalam Pengembangan Kurikulum PAI

Pendidikan agama Islm di sekolah meliputi aspek al-Qur’an/hadits, keimanan, akhlak, ibadah/muamalah, dan tarikh/sejarah umat Islam. Di madrasah, aspek-aspek tersebut dijadikan sebagai sub-sub mata pelajaran PAI yang meliputi: mata pelajaran al-Qur’an hadits, fiqih, aqidah akhlak dan sejarah kebudayaan Islam.

Terdapat kedudukan dan hubungan yang erat antara mata pelajaran tersebut, yaitu:  al-Qur’an hadits merupakan sumber utama ajaran Islam dalam arti sumber aqidah, syariah dan akhlak, sehingga kajiannya berada di setiap unsur tersebut. Aqidah atau keimanan merupakan akar atau pokok agama. Syariah dan akhlak bertitik tolak dari aqidah, dalam arti sebagai manifestasi dan konsekuensi dari aqidah. Syariah merupakan sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan dengan makhluk lainnya. Dalam hubungannya dengan Allah diatur dalam ibadah dalam arti khas dan dalam hubungannya dengan sesama manusia dan lainnya diatur dalam muamalah dalam arti luas.

Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia, dalam arti bagaimana sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya itu menjadi sikap hidup dan kepribadian hidup manusia dalam menjalankan sistem kehidupannya yang dilandasi oleh aqidah yang kokoh. Sedangkan tarikh Islam merupaan perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke masa dalam usaha bersyari’ah dan berakhlak serta dalam mengembangkan sistem kehidupannya yang dilandasi aqidah.

Pendekatan subjek akademis dalam menyusun kurikulum PAI dilakukan dengan berdasarkan sistematisasi disiplin ilmu. Misalnya, untuk aspek keimanan atau mata pelajaran aqidah menggunakan sistematisasi ilmu tauhid, aspek/mata pelajaran al-qur’an menggunakan sistematisasi ilmu al-qur’an atau ilmu tafsir, akhlak menggunakan sistematisasi ilmu akhlak, ibadah/syari’ah/muamalah menggunakan sistematisasi ilmu fiqih dan tarikh menggunakan sistematisasi ilmu sejarah Islam. Masing-masing aspek/mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang dapat dipergunakan untuk pengembangan disiplin ilmu yang lebih lanjut bagi para peserta didik yang memiliki minat dibidangnya. Namun demikian, dalam pembinaannya harus memperhatikan kaitan antara aspek/mata pelajaran yang satu dengan lainnya.

SEKIAN

SEMOGA BERMANFAAT

REVIEW BUKU PERILAKU POLITIK KIAI


REVIEW BUKU PERILAKU POLITIK KIAI

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

(Guru Sang Dewo (SMPN 2 Pagerwojo) & Akademisi UIN Maliki Malang)

 

PENDAHULUAN

 

Sepertinya sudah menjadi rutinitas, tiap menjelang pemilu, para politisi merasa perlu menyambangi para kiai, kiai disebut sebagai seorang guru di suatu pondok pesantren dan sarjana ilmu keislaman. Sebagaimana layaknya seorang tamu, para kiai itu pun menyambutnya dengan lapang dan penuh penghormatan. Semua politisi, apa pun partainya dan dari kekuatan mana pun dia, tetap diperlakukan sama. Tidak peduli dia reformis, status quo, sipil, militer, ataupun koruptor, semuanya mendapatkan penghormatan sepadan saat berkunjung. Sambutan kepada seorang Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana), tak berbeda saat menyambut Gus Dur, demikian juga dengan Amien Rais, Hamzah Haz, ataupun Megawati.

Manuver para politisi menyambangi kiai sebenarnya mudah dibaca maksud dan tujuannya. Apakah maksud dan tujuan politisi itu tercapai, itu lain persoalan. Perilaku politik kiai semenjak dulu susah ditebak, dan mereka memiliki ukuran, nilai, dan kriteria sendiri soal politik, di samping punya independensi yang tinggi terhadap semua kekuatan politik. Perilaku politik kiai bisa dibaca di buku karya Greag Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (LKiS, Yogyakarta, 2003). Tidak selalu sikap baik kiai menyambut para politisi dimaknai sebagai persetujuan untuk memberikan dukungan politik. Inilah yang perlu diklarifikasi sekaligus diketahui, baik oleh publik maupun politisi.

Persoalan kepentingan baik secara individu atau kelompok yang muncul pada kiai di Jawa (pusat) yang berpengaruh terhadap perilaku politik kiai. Implikasi yang muncul dari perilaku politik kiai NU terhadap induk organisasi NU; Terbentuknya kemungkinan pola konflik di kalangan ulama NU di PKB dan PNU menjelang dan setelah pemilihan umum 1999 akibat perbedaan kepentingan itu serta tantangan dan prospek partai-partai itu ke depan.

Kedua, dari kompleksitas data yang penting dan relevan di atas, kemudian dilakukan pengklasifikasian data dalam beberapa titik tekan persoalan munculnya perilaku politik yang berbeda di kalangan ulama NU yakni perdoalan politik, keagamaan, sosial dan budaya. Pada tahap inilah pendekatan-pendekatan teori yakni teori elite, politik aliran, patron client, budaya politik, sosialisasi dan orientasi politik yang dijadikan teori untuk memahami dan meneliti perilaku politik ulama dalam penelitian ini diterapkan.

Ketiga, dilakukan pengolahan data secara kualitatif. Dalam tahapan ini setiap data diberikan pengertian sehingga mudah untuk dipahami. Pengertian ini dimaksudkan untuk menganalisis inti pemikiran yang ada dalam data. Terakhir, dilakukan penyimpulan ringan sebagai langkah awal untuk membuat kesimpulan akhir. Kerangka pikir yang menyangkut beberapa faktor yang mempunyai kecenderungan sebagai penyebab perbedaan perilaku ulama NU di PKB digunakan sebagai asumsi-asumsi untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan sementara dalam penelitian ini. Penggabungan antara kerangka pikiran dan teori-teori perilaku politik yang ada dengan kondisi obyektif hasil penelitian kemudian dijadikan pedoman untuk melakukan penyimpulan akhir.

Bab 1  KIAI PESANTREN :

            Dari Ibadah Hingga Politik 

Situasi sosial politik setelah lengsernya rezim Orde baru mengalami perubahan yang sangat siknifikan, perubahan tidak hanya pada  tingkat intuisi politik saja akan tetapi juga pada sistem kepartaian yang semula terbatas menjadi multi partai. Oleh sebab itu keadaan yang seperti ini di manfaatkan banyak kelompok-kelompok yang berkepentingan untuk mendirikan partai politik sebagai representatsi dari keinginan rakyat yang telah lama terkekang oleh rezim Orde baru.

Salah satu fakta politik yang turut ambil bagian dalam momentum perubahan ini adalah organisasi NU dan kiyai pesantren. Keterlibatan NU dan kiyai pesantrendalam deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membuktikan kelompok kepentingan ini menaruh peduli terhadap nasib demokratisasi di Indonesia, meskipun secara formal kebijakan NU tersebut bertabrakan dengan keputusan muktamar NU Situbondo yang menggariskan kembali ke khittah 1926 bahwa meletakkan posisi NU pada diameter netral dengan mengambil jarak yang sama terhadap semua organisasi politik harus tetap dijaga..

Perpolitikan yang melibatkan organisasi NU dan kiyai pesantren merupakan konfigurasi baru dalam perjalanan politik NU pasca keputusan kembali ke khittah 1926. Dengan sikap NU menjadi organisasi independen dengan menarik garis secara tegas antara perjuangan keumatan dan politik praktis, pelarangan dan jabatan, dan juga mengakibatkan kebebasan warga NU memilih partai menjadi pudar setelah NU dan para kiyai pesantren ikut dalam pendeklarasian PKB.

Banyak argumentasi bahwa posisi kiyai pesantren sanagat setrategis, dapat kita cermati dari realitas sosial dalam tradisi NU. Perjuangan penting NU di bidang social keagamaan, pendidikan, pengembangan masarakat dan bidang politik, sebagian besar berada ditangan kiyai pesantren. Sehingga pemisahan peran NU dan kiyai pesantren sangat sulit keduanya memiliki hubungan social kultural yang sangat kuat karena keberadaan kiyai pesantren dengan kekayaan tradisi danm jaringan sosialnya merupakan pilar penting dan telah memberi kontribusi bagi perkembangan NU.

Pola hubungan kekerabatan yang di bangun kiyai dalam tradisi pesantren berlangsung cukup efektif. Sehingga tradisi pesantren dapat berkembang menjadi sisten social yang memiliki pengaruh kepada masyarakat luas. Pengaruh pesantren dengan senioritas kiyainya, tidak hanya pada persoalan sosial keagamaan tapi pengaruh juga pada persoalan ekonomi dan politik.

Politik NU secara organisasi dan kiyai pesantren sangat sulit dibedakan, meski keduanya adalah intuisi yang berdiri sendiri, akan tetapi secara politis keduanya memiliki hubungan timbal balik, artinya perpolitikan waga NU banyak dipenaruhi oleh kiyai pesantren dan sikap politik kiyai pesanten juga sering dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan NU. Dimana perjalanan politik beriring dengan dinamika peran politik kiyai pesantren. Bahkan peran kiyai pesantren ini terkadang menjadi pemicu konflik di dalam NU. ( Karena dalam realitasnya persoalan-persoalan eksternal dibawa masuk pada internal NU ) pesantren tidak hanya mampu mempertahankan eksistansinya saja, pesantren juga memiliki antusias dan konsisten mengaplikasikan etos dan misinya. Kemudian kiyai pesantren ini memiliki pengaruh yang sangat besar di lingkungannya baik bidang politik maupun sosial

 

Bab 2  KHITTAH 1926 DAN POLITIK KIAI :

            Dalam Hamparan Sejarah

Adanya kebijakan “kembali ke khittah”, pada satu sisi, memang membebaskan kiai dan umat Islam pada umumnya dari afiliasi terhadap partai tertentu, tetapi pada sisi yang lain, hal itu telah menyebabkan tidak saja munculnya berbagai orientasi politik di kalangan umat Islam tetapi juga makin menurunnya politik Islam dan pengaruh politik kiai itu sendiri. Oleh karena itu tidak mengherankan jika di hampir semua kasus, politik kiai secara perorangan tidak diikuti oleh semua pengikutnya.

Pengaruh kiai dalam wilayah politik tidak sekuat dalam bidang social dan kemasyarakatan. Meskipun menjadi tokoh kharismatik, hanya sedikit pengikut yang merasa terdorong untuk mengikuti langkah politik kiai. Perbedaan antara kiai dan pengikutnya dalam hubungannya dengan perilaku politik akhirnya menjadi fenomena biasa, khususnya setelah berubahnya partai politik Islam. Namun demikian, peran kiai secara umum masih tetap penting karena kiai berada di garis depan dalam membimbing moralitas dan ortodoksi umat Islam.

 

Bab 3  REPUTASI PUNCAK POLITIK KIAI :

Keberadaan kiai pesantern dalam hal kebangsaan dan keislaman memiliki sejarah yang cukup panjang. Dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan dan menghadapi pemberontakan PKI, kiai pesantren selalu menempatkan Negara pada posisi penting yang wajib dibela dan dipertahankan dalam kerangka itu, kiai pesantren memandang perlu untuk memperkuat garis perjuangan.

Kehadiran dalam setiap perubahan di ndonesia menunjukkan bahwa kiyai yang terikat pola pemikiran Islam tradisional mampu membenahi diri untuk tetap memiliki peran dalam membangun masa depan bangsa dan Negara. Kiai juga mampu memperbarui penafsiran mereka tentang Islam tradisonal sesuai denagn kebutuhan situasi modern. Keberhasilan modernisasi  kiai dalam pemikiran kiyai tidak kalah dengan pemikiran kelompok social politik lain yang sejak awal menyatakan diri sebagai organisasi modern.

Ada kontruksi sosial yang menempatkan kiai menjadi individu yang memiliki integritas moral dan selalu memiliki pengikut, kontruksi sosial yang seperti ini menjadikan kiai menempati posisi elit di dalam masarakat. Keberadaan kiai pada posisi bergengsi disini dapat difahami dan sudah menjadi hukum sosial akan kebutuhan tokoh sentral (elit) dalam setiap masarakat. Elit dalam tindakan social dapat diimplikasikan pada sebuah perubahan social, dimana keberadaan elit tidak cukup diukur dengan kecakapan, ketrampilan dan kelihaian, tetapi dilihat dari sisi moralitas dan konsekuensi perjuangannya. Seperti memosisikan kiai sebagai elit NU yang dikaitkan dengan struktur kepribadian, struktur social dan struktur kebudayaan. Sehingga ketokohan seorang kiyai tidak hanya pada lingkungan pesantren, tetapi pada lingkungan luar pesantren.

ü  Karisma dan Hegemoni Politik Kiai

Sepertinya sudah menjadi rutinitas, tiap menjelang pemilu, para politisi merasa perlu menyambangi para kiai. kiai disebut sebagai seorang guru di suatu pondok pesantren dan sarjana ilmu keislaman. Sebagaimana layaknya seorang tamu, para kiai itu pun menyambutnya dengan lapang dan penuh penghormatan. Semua politisi, apa pun partainya dan dari kekuatan mana pun dia, tetap diperlakukan sama. Tidak peduli dia reformis, status quo, sipil, militer, ataupun koruptor, semuanya mendapatkan penghormatan sepadan saat berkunjung. Sambutan kepada seorang Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana), tak berbeda saat menyambut Gus Dur, demikian juga dengan Amien Rais, Hamzah Haz, ataupun Megawati.

Manuver para politisi menyambangi kiai sebenarnya mudah dibaca maksud dan tujuannya. Apakah maksud dan tujuan politisi itu tercapai, itu lain persoalan. Perilaku politik kiai semenjak dulu susah ditebak, dan mereka memiliki ukuran, nilai, dan kriteria sendiri soal politik, di samping punya independensi yang tinggi terhadap semua kekuatan politik. Tidak selalu sikap baik kiai menyambut para politisi dimaknai sebagai persetujuan untuk memberikan dukungan politik. Inilah yang perlu diklarifikasi sekaligus diketahui, baik oleh publik maupun politisi.

Sisi penting eksistensi kiai terletak pada karismanya. Karisma dalam kajian sosial susah diketahui melalui sifat yang definitif, namun dapat dikenali melalui sederetan kepribadian kuat, berpengaruh besar, tekun, amat ekspresif, pemberani, tegas, penuh percaya diri, supel, berpandangan tinggi, dan energik (Shills, 1968). Karisma itu sendiri, menurut Abdul Majid (1995), bersumber dari keluasan ilmu agama, akhlak, dan kemampuan retorikanya. Kepemilikan karisma inilah yang membuat kiai mampu memegang otoritas kepemimpinan di luar negara yang punya akses kuat untuk mempengaruhi dan menggerakkan massa. Dalam politik praksis, massa adalah kuantitas suara untuk menuju puncak kekuasaan sehingga sebenarnya jelas, kepentingan politisi adalah memanfaatkan karisma yang dimiliki para kiai untuk tujuan pragmatis politik mereka.

Logika yang dibangun oleh para politisi sederhana, yaitu ketika ia mampu mempengaruhi seorang kiai saja, secara otomatis ia pun akan mendulang dukungan dari massa yang dimiliki kiai. Namun, kiai tidaklah selugu sebagaimana dikira para politisi. Alih-alih politisi mempengaruhi para kiai, yang terjadi justru sebaliknya. Dan, itulah yang kita harapkan. Dengan menggunakan kerangka analisis Antonio Gramsci (1891-1937), proses mempengaruhi itu saya sebut hegemoni. Namun, saya akan menggunakan istilah ini dalam makna positif, bukan negatif yang diperkenalkan Gramsci. Dengan menghegemoni para politisi, diharapkan para politisi akan mengikuti moralitas, pandangan, dan nilai yang diyakini para kiai. Lantas, harus dilakukan di wilayah mana proses hegemoni itu?

Ada dua pandangan yang terus mengalami perdebatan tentang di wilayah mana kiai seharusnya memainkan peran hegemoninya dalam hubungannya dengan politik praktis. Pandangan pertama menganggap peranan itu harus dimainkan di luar pagar politik praktis, yaitu peran high politics. Alasannya terkait dengan posisi kiai yang semestinya mentransendensikan dirinya di atas semua kelompok, di samping wajah dunia politik negeri ini yang lebih banyak menampilkan borok busuk. Kiai sebagai tokoh panutan seharusnya berdiri di atas semua kekuatan politik; tidak memihak pada satu kekuatan politik tertentu. Peran ini akan sirna manakala kiai sudah mengkubu pada salah satu kekuatan politik.

Dunia kiai adalah dunia suci yang dipenuhi nilai-nilai moral, kebaikan, dan kebajikan, sementara dunia politik penuh dengan intrik, lumpur dan noda. Sebaik dan sebersih apa pun orang, termasuk kiai, ketika masuk politik praktis maka mau tidak mau dia akan terkena percikan lumpur itu karena dalam dunia politik mestilah terjadi perebutan kepentingan untuk kekuasaan. Kekuasaan itu selalu melenakan dan membuat orang lupa daratan. Legitimasi kiai itu bukan diperoleh lewat jalur kekuasaan, namun sikap dan tindakan moralnya, di samping otoritas keagamaan yang dimilikinya sehingga terjun ke politik praktis bukan malah meneguhkan pamor dan karisma kiai, tetapi sebaliknya. Dan, akhirnya yang terjadi justru kiai yang dihegemoni oleh para politisi.

Pandangan yang kedua justru kebalikan yang pertama. Justru dunia politik praktis yang selama ini dianggap kotor itu yang perlu dibenahi dan diluruskan. Kiai sebagai sosok yang bersih, berilmu, dan bermoral punya kewajiban untuk memperbaikinya, yaitu dengan cara masuk ke dalamnya. Bukan hanya berdiri di luar pagar dan memberikan wejangan, namun memberikan contoh langsung bagaimana menjadi seorang politisi yang menjunjung nilai-nilai moral dan kebaikan. Kewajiban ini juga tidak dapat dilepaskan dari status kiai sebagai pewaris nabi.

Dalam terminologi Ali Syariati, kiai itu merupakan nabi-nabi sosial yang mencerap jalan para nabi. Nabi tidak hanya mengkhotbahkan kebaikan dan kebajikan, namun juga memberikan teladan dalam medan sosial. Tugas kenabian tidak hanya melulu dilakukan melalui majelis, mimbar, dan podium, tetapi juga aksi-aksi praksis, baik melalui gerakan sosial maupun gerakan politik. Menghindari politik dan kekuasaan yang dianggap bobrok sama dengan membiarkan kemungkaran bertahan di muka bumi ini. Proses hegemoni juga akan lebih efektif jika masuk dalam sistem, apalagi jika mereka bergerak secara jemaah.

Saya menganggap bahwa dua pandangan itu tidak perlu dipertentangkan karena keduanya saling melengkapi. Artinya, proses hegemoni dapat dilakukan dari dua arah sekaligus, yaitu dari luar sistem dan dari dalam sistem, sehingga yang terjadi sebenarnya adalah proliferasi peran. Sebagaimana difirmankan oleh Tuhan, tidak perlu semua orang maju perang, harus ada sebagian yang tetap tinggal untuk menyeru kebaikan. Peran dalam sistem tidak lebih utama daripada di luar sistem. Keutamaannya justru terletak pada komitmen para kiai dalam memegang teguh dan konsisten terhadap nilai-nilai yang ia perjuangkan sehingga di mana pun dia berada, baik dalam kekuasaan atau di luar kekuasaan, akan senantiasa memancarkan nilai-nilai itu.

Kiai itu bagaikan bola kristal yang tiap sudutnya memendarkan cahaya yang menerangi segenap sudut kehidupan manusia. Sudah saatnya, kita perlu kepemimpinan para malaikat untuk menarik pendulum kekuasaan negeri ini yang sudah disesaki para setan.

Bab 4  PERSINGGUNGAN NU, KIAI DAN POLITIK :

Polemik Di Sekitar Kelahiran NU

Menurut hitungan kalender hijriyah, tanggal 31 Juli 2007 yang bertepatan dengan 16 Rajab merupakan hari ulang tahun Nahdlatul Ulama (NU) yang ke-84. NU didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 Hijriyah, yang waktu itu bertepatan dengan 31 Januari 1926. NU didirikan untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama pesantren di dalam rangka tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan semata, tetapi lebih ditingkatkan lagi pada kepekaan terhadap persoalan kemasyarakatan pada umumnya.

NU juga merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, trampil, berakhlak mulia, tentram, adil dan sejahtera. Sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan nasional.

Kaitannya dengan ranah politik, barangkali para pendiri NU tidak pernah bermimpi untuk menjadikan jam’iyahnya akan berkecimpung di dunia politik, karena ia lahir bukan dari wawasan politik, bukan karena kepentingan kursi di parlemen, atau posisi penting di pemerintahan. Akan tetapi dalam kenyataannya, selama 32 tahun (1952-1984) organisasi ulama ini telah menceburkan diri ke dalam kancah politik.

Sikap NU atau warga NU (nahdliyin) terhadap perkembangan politik nasional memang terkesan responsif dan akomodatif. Hal ini bisa dilacak jauh ke belakang. Sejak didirikannya (1926) sampai tahun 1945, NU menegaskan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan. Identitas itu ditinggalkannya ketika dari tahun 1945- 1952 bergabung dengan partai Masyumi dalam bentuk federasi. Konflikkonflik internal antara unsur-unsur tradisionalis dan modernis di tubuh Masyumi menyebabkan NU keluar dari Masyumi dan menyatakan sebagai partai sendiri.

Dalam Pemilu 1955, yang dikenal sebagai pemilu yang sangat demokratis itu, Partai NU keluar sebagai partai politik terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Bila ketika NU masih bergabung dengan Masyumi hanya kebagian 8 kursi, maka setelah berpisah, NU menduduki 45 kuri di Parlemen. Keberhasilan NU dalam pemilu itu tidak hanya mengubah posisinya di parlemen, tetapi juga dalam kabinet di mana dari 25 menteri yang ada, NU menduduki 5 jabatan menteri.

Dalam Pemilu 1971, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Orde Baru yang penuh dengan intrik dan intimidasi itu, Partai NU menempati urutan kedua setelah Golkar. Bila pada Pemilu 1955 NU mempunyai 45 wakil di Parlemen, maka pada Pemilu 1971 ini NU menduduki 58 kursi di DPR yang berarti ada kenaikan 13 kursi.

Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengadakan restrukturisasi politik di mana di Indonesia hanya diperbolehkan adanya tiga kekuatan sosial politik yakni: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat partai Islam yang ada waktu itu (NU, Parmusi, Perti dan PSII) berfusi menjadi satu partai yaitu PPP.

Meskipun NU merupakan unsur terbesar dalam PPP, namun NU tidak pernah mendapatkan posisi yang strategis sebagai ketua umum partai. Di saat itu, situasi politik nasional juga kurang menggandeng NU sehingga NU merasa termaginalisasikan di pentas politik nasional. Akhirnya pada tahun 1984, melalui Muktamar NU ke- 27 di Situbondo, NU menyatakan kembali ke khittah 1926, yakni kembali ke niatan semula sebagai organisasi sosial keagamaan.

Dengan kata lain, NU menghentikan segala aktivitas politik praktis dan kembali menggalakkan kegiatan sosial, pendidikan dan dakwah. Dengan keputusannya ini, NU tidak lagi berafiliasi ke PPP dan memberikan kebebasan kepada seluruh warganya, termasuk para kyai, untuk menyalurkan aspirasi politik mereka ke partai politik mana saja yang mereka pilih. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang telah melepaskan baju politiknya, NU lebih luwes dibanding bila tetap berafiliasi ke salah satu parpol. Norma-norma organisasinya lebih longgar. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan warga NU berpartisipasi aktif di bidang politik.

Bab 5  KIAI PESANTREN DAN TRADISI POLITIK NU  :

Polarisasi politik, perbedaan cara pandang dalam berpolitik juga menyebabkan perseteruan antarkyai dan antarpesantren yang diasuhnya. Mereka adalah sama-sama warga nahdliyin. Idealnya, para pemimpin umat termasuk para kyai, tidak terlibat langsung dalam politik praktis. Mereka cukup sebagai guru bangsa yang selalu siap untuk dimintai nasihat dan fatwa. Keberpihakan mereka dalam salah satu partai politik, apalagi aktif di dalamnya, akan mengurangi akses dakwah ke masyarakat yang lebih luas.

Sebagai pewaris nabi, posisi yang sangat tinggi dalam Islam, tugas mereka adalah membimbing umat menuju keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tugas itu insya Allah jauh lebih bermanfaat daripada terjun di dunia politik. Belakangan ini muncul fenomena bahwa jabatan di NU dijadikan sebagai jembatan atau batu loncatan untuk bisa dipilih menjadi anggota legislatif atau dipilih menduduki jabatan politik, mulai dari tingkat nasional, propinsi sampai kabupaten. Ambisi itu bolehboleh saja, tetapi alangkah baiknya bila seseorang yang sudah sejak awal niat berkhidmah untuk NU bisa istiqamah, bisa konsisten dengan niat awalnya.

Bab 6  REALISASI KIAI PESANTREN NU DAN PKB  :

Ketika era reformasi datang menyusul tumbangnya rezim Orde Baru, kesempatan untuk mendirikan partai politik sangat terbuka. Karena NU, sebagai organisasi, terikat dengan khittah ’26 maka bukan NU yang berubah lagi menjadi partai politik, akan tetapi nafsu warganya sangat besar untuk mendirikan parpol. Mereka mendirikan beberapa partai politik, dan yang difasilitasi oleh PBNU adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang secara resmi didirikan pada tanggal 23 Juli 1998.

Dalam perjalanannya, partai ini tidak bisa berjalan mulus sebagaimana yang diharapkan. Beberapa kyai sepuh NU dan para politisi yang semula sangat mendukung PKB ”lari” dan mendirikan partai baru yang dinamakan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Dengan berdirinya PKNU yang bidikannya juga warga nahdliyin, maka warga nahdliyin semakin banyak mempunyai pilihan, tetapi konsekuensinya tidak akan pernah ada partai yang didukungnya bisa menjadi besar. Sebagian orang berpendapat bahwa politik menjanjikan kursi empuk yang menyenangkan. Itulah sebabnya tujuan politik antara lain adalah merebut kursi sebanyak-banyaknya, mengincar kedudukan dan posisi di jajaran pemerintahan.

Banyak orang, termasuk ulama dan kyai yang senang pada posisi semacam itu. Keinginan yang seperti itu lumrah dan manusiawi selama cara untuk mencapainya dengan jalan yang terhormat dan elegan. Ketika atensi dan energi warga NU terserap ke dalam dunia politik, ditengarai banyak kyai dan pengasuh pesantren yang kurang memberikan perhatian terhadap jamaah dan pesantren yang dipimpinnya. Akibatnya banyak pesantren dan madrasah yang perkembangannya sangat memprihatinkan. Polarisasi politik, perbedaan cara pandang dalam berpolitik juga menyebabkan perseteruan antarkyai dan antarpesantren yang diasuhnya. Mereka adalah sama-sama warga nahdliyin.

Idealnya, para pemimpin umat termasuk para kyai, tidak terlibat langsung dalam politik praktis. Mereka cukup sebagai guru bangsa yang selalu siap untuk dimintai nasihat dan fatwa. Keberpihakan mereka dalam salah satu partai politik, apalagi aktif di dalamnya, akan mengurangi akses dakwah ke masyarakat yang lebih luas. Sebagai pewaris nabi, posisi yang sangat tinggi dalam Islam, tugas mereka adalah membimbing umat menuju keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tugas itu insya Allah jauh lebih bermanfaat daripada terjun di dunia politik.

Belakangan ini muncul fenomena bahwa jabatan di NU dijadikan sebagai jembatan atau batu loncatan untuk bisa dipilih menjadi anggota legislatif atau dipilih menduduki jabatan politik, mulai dari tingkat nasional, propinsi sampai kabupaten. Ambisi itu bolehboleh saja, tetapi alangkah baiknya bila seseorang yang sudah sejak awal niat berkhidmah untuk NU bisa istiqamah, bisa konsisten dengan niat awalnya.

Bab 7  KIAI PESANTREN, NU, KEGADUHAN POLITIK :

Pesantren merupakan lembaga utama tempat sejumlah besar umat Islam dididik. Arti penting pesantren tidak hanya terletak pada kenyataan bahwa ia telah menanamkan sistem nilai Islam yang, paling tidak, telah menciptakan masyarakat yang lebih religius, tetapi juga karena kiai yang memimpin pesantren sering kali juga terlibat dalam wilayah politik.

Secara singkat, kepemimpinan kiai pada umumnya adalah kepemimpinan keagamaan yang penting dan telah berlangsung lama. Afiliasi penduduk kepada kiai tertentu tampak ketika ia dikaitkan dengan politik, dan kata “kiai saya” adalah ungkapan umum yang menunjukkan keterkaitan penduduk dengan kiai tertentu.

Keterlibatan kiai NU dalam politik tampaknya tidak dapat dihindarkan. Posisi ulama yang berada di garis depan masyarakat Islam tidak hanya menjadikan mereka para pemimpin informal yang menjaga paham Ahlus sunnah wal jama’ah, tetapi juga para pemimpin politik karena, di Indonesia, hubungan antara politik dan Islam sangat kuat. Upaya-upaya ulama untuk mengembangkan para Ahlus sunnah wal jama’ah direalisasikan dengan mendirikan pesantren sebagai pusat-pusat pendidikan Islam. Di sisi lain, kepentingan ulama dalam politik direalisasikan dengan keterlibatan mereka dengan partai politik Islam.

Otoritas kiai memiliki keterbatasan legitimasi. Paling tidak, ia mempunyai batasan-batasan yang menentukan wilayah atau situasi bagi keberlakuannya. Batasan-batasan ini bersifat normatif dan dinyatakan secara longgar dalam konsep “berjuang demi Islam”. Konsep ini dapat digunakan oleh pengikut kiai mana pun atau kelompok dalam masyarakat untuk menilai seorang kiai.

Sebagai pemegang otoritas keagamaan, kiai didudukkan pada posisi yang terhormat sehingga mampu mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan emosional para pengikutnya. Namun demikian, dalam situasi-situasi tertentu, pengaruh kiai dapat menjadi tidak bermakna ketika otoritasnya dianggap telah menyimpang dari yang seharusnya. Pada titik ini, para pengikut (umat) mempunyai dasar untuk menentang legitimasi keputusan kiai, khususnya dalam isu-isu sosial dan politik, terutama dalam kasus pemilu. Anjuran kiai untuk mendukung sebuah partai selain partai Islam, misalnya, mengundang tanggapan negatif dari para pengikutnya. Beberapa kiai bahkan ditinggal oleh pengikutnya karena pendirian politiknya.

Kegagalan politik Islam telah mendorong kiai, melalui NU, untuk membebaskan umat Islam dari kewajiban menganut orientasi politik tertentu. Akibatnya, afiliasi keagamaan yang sebelumnya mengarahkan langkah-langkah politik masyarakat menjadi kabur. Kewajiban moral (agama) yang sering dikaitkan dengan politik pun menjadi longgar. Pandangan kiai tentang pemerintah, misalnya, telah berubah secara signifikan. Perubahan dalam kepemimpinan politik kiai dimulai ketika NU mengeluarkan kebijakan “kembali ke khitah”. Perubahan dalam politik kiai ini menimbulkan perubahan dalam politik Islam. Para kiai yang pada mulanya selalu mengaitkan antara politik dan agama akhirnya membebaskan politik dari keterlibatan agama.

Dengan demikian, meskipun ada faktor-faktor eksternal yang menyebabkan runtuhnya politik Islam, seperti pengenalan “asas tunggal” oleh pemerintah yang membuat Islam tidak lagi menjadi ideology partai apa pun, perubahan sikap politik kiai juga merupakan faktor yang menentukan. Sikap politik beberapa kiai yang berafiliasi dengan Golkar telah memunculkan berbagai afiliasi politik di kalangan umat Islam. Secara singkat, kepemimpinan kiai pada umumnya adalah kepemimpinan keagamaan yang penting dan telah berlangsung lama. Afiliasi penduduk kepada kiai tertentu tampak ketika ia dikaitkan dengan politik, dan kata “kiai saya” adalah ungkapan umum yang menunjukkan keterkaitan penduduk dengan kiai tertentu.

Keterlibatan kiai NU dalam politik tampaknya tidak dapat dihindarkan. Posisi ulama yang berada di garis depan masyarakat Islam tidak hanya menjadikan mereka para pemimpin informal yang menjaga paham Ahlus sunnah wal jama’ah, tetapi juga para pemimpin politik karena, di Indonesia, hubungan antara politik dan Islam sangat kuat. Upaya-upaya ulama untuk mengembangkan para Ahlus sunnah wal jama’ah, direalisasikan dengan mendirikan pesantren sebagai pusat-pusat pendidikan Islam. Di sisi lain, kepentingan ulama dalam politik direalisasikan dengan keterlibatan mereka dengan partai politik Islam.

Menurut Dr. Endang Turmudi, otoritas kiai memiliki keterbatasan legitimasi. Paling tidak, ia mempunyai batasan-batasan yang menentukan wilayah atau situasi bagi keberlakuannya. Batasan-batasan ini bersifat normatif dan dinyatakan secara longgar dalam konsep “berjuang demi Islam”. Konsep ini dapat digunakan oleh pengikut kiai mana pun atau kelompok dalam masyarakat untuk menilai seorang kiai.

Sebagai pemegang otoritas keagamaan, kiai didudukkan pada posisi yang terhormat sehingga mampu mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan emosional para pengikutnya. Namun demikian, dalam situasi-situasi tertentu, pengaruh kiai dapat menjadi tidak bermakna ketika otoritasnya dianggap telah menyimpang dari yang seharusnya. Pada titik ini, para pengikut (umat) mempunyai dasar untuk menentang legitimasi keputusan kiai, khususnya dalam isu-isu sosial dan politik, terutama dalam kasus pemilu. Anjuran kiai untuk mendukung sebuah partai selain partai Islam, misalnya, mengundang tanggapan negatif dari para pengikutnya. Beberapa kiai bahkan ditinggal oleh pengikutnya karena pendirian politiknya.

 

SEKIAN

SEMOGA BERMANFAAT

حديث اخلاص في الاعمال


حديث اخلاص في الاعمال

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

(Guru Sang Dewo (SMPN 2 Pagerwojo) & Akademisi UIN Maliki Malang)

Sebelum memasuki hadits mengenai ikhlas terlebih dahulu akan kami kemukakan ayat ikhlas sebagai mukaddimah:

إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا(146)

Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya.

 

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ . [رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]

 

Terjamah Hadits / ترجمة الحديث :

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah e bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) .

 

Kandungan dan Keterangan Hadits

  1. Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala). Fungsi niat disini adalah sebagai pembeda antara ibadah dengan kebiasaan.
  2. Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati. Jadi ketika orang tersebut hanya berkata di lisan maka itu tidak dinamakan niat, hanya kalam.
  3. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah. Keihklasan akan mendatangkan sesuatu yang berbeda kepada orangnya. Secara umum ikhlas berarti hilangnya rasa pamrih atas segala sesuatu yang diperbuat. Menurut kaum Sufi, seperti dikemukakan Abu Zakariya al Anshari, orang yang ikhlas adalah orang yang tidak mengharapkan apa-apa lagi. Ikhlas itu bersihnya motif dalam berbuat, semata-mata hanya menuntut ridha Allah tanpa menghiarukan imbalan dari selainNya. Dzun Al-Nun Al Misri mengatakan ada tiga ciri orang ikhlas, yaitu; seimbang sikap dalam menerima pujian dan celaan orang, lupa melihat perbuatan dirinya, dan lupa menuntut balasan di akhirat kelak. Menurut Fudhail ikhlas kebersihan hati dari perkara yang menjenuhkan hati.  Jadi dapat dikatakan bahwa ikhlas merupakan keadaan yang sama dari sisi batin dan sisi lahir. Ikhlas dibagi 2, yaitu ikhlas mencari pahala dan ikhlas amal. Ikhlas adalah tingkat ihsan, yang meyakini sekalipun dirinya tidak dapat melihat Allah tapi Allah melihat apa saja yang ia  kerjakan. Ia meyakini Allah bersama dengannya dimanapun ia berada. Desah nafasnya, getar hatinya, lintasan berfikirnya, resah jiwanya  selalu  merasa dalam pengawasan Allah, sang Kekasih….
  4. Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya. Niat itu mencerminkan keihklasan seseorang, dan sejauh mana ikhlasnya.
  5. Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah. Hal ini sebagaimana yang sudah penulis terangkan diatas bahwa fungsi niat adalah pembeda antara ibadah dengan rutinitas.
  6. Hadits diatas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Maka dari itu dapat diambil garis lurus bahwa niat dalam suatu perbuatan itu berada diawal perbuatan tersebut jika tidak maka namanya hanyalah azm atau qasdu saja.

 

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ                                       [رواه البخاري ومسلم]

Terjamah Hadits / ترجمة الحديث :

Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah e bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.                        (Riwayat Bukhori dan Muslim)

 

 

 

Kandungan dan Keterangan Hadits

  1. Termasuk sikap wara’ adalah meninggalkan syubhat . karena banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
  2. disamping itu hadits ini juga menganjurkan agar seseorang menjauhi perbuatan dosa kecil karena hal tersebut dapat menyeret seseorang kepada perbuatan dosa besar.
  3. Hendaklah seseorang memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik. Karena hati merupakan sumber niat, maka segala unsur jasmani tergantung pada hati.
  4. Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati. Maka dari itu kebaikan dalam batiniah dapat dilihat dengan amaliah sehari-hari. Tidak mungkin orang atau manusia akan berusaha membohongi hatinya sendiri. Dan jika itu terjadi maka manusia tersebut akan munafik.
  5. Pertanda ketaqwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan. Taqwa (berasal dari kata wiqayah), berarti terpelihara dari kejahatan, karena adanya keinginan yang kuat untuk meninggalkan kejahatan. Dalam Al Qur’an terdapat kata taqwa dalam beberapa pengertian diantaranya takut (Q.S Al Baqarah:41 ), ketaatan dan ibadah (Q.S Ali Imran;102) dan bersih dari dosa (Q.S An Nur:52) dan masih banyak lagi yang berjumlah 12 arti. Menurut kaum sufi taqwa dalam pengertian terakhirlah yang mereka maksudkan, yakni terpeliharanya hati dari berbagai dosa yang mungkin terjadi karena adanya keinginan yang kuat untuk meninggalkannya sehingga mereka terpelihara dari perbuatan buruk (jahat). Al Ghazali  mengatakan taqwa merupakan ketundukan dan ketaatan (manusia) kepada perintah Allah  dan menjauhi segala yang dilarangNya. Ibnu Athailah membagi taqwa menjadi 2 macam; taqwa lahir dan taqwa batin. Taqwa lahir dilakukan melalui pemeliharaan terhadap hukum-hukum Allah yang telah ditetapkanNya, sedangkan taqwa batin dilakukan dengan menanamkan niat suci dan keikhlasan yang murni dalam beramal. Pengertian taqwa sangat banyak setiap sufi memberikan pengertian sendiri-sendiri menurut  pengalaman mereka. Ketaqwaan ini akan tercapai karena adanya dorongan jiwa yang kuat. Dorongan ini menurut mereka, terdiri dari peningkatan sikap lapang dada terhadap apa yang sudah dimiliki dan meningkatkan kesabaran terhadap yang hilang dari tangannya. Dasar semua ini adalah keimanan yang kuat dan keikhlasan yang benar.
  6. Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana dan cara ke arah sana. Hati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ حَدَّثَنِي سَلَمَةُ بْنُ كُهَيْلٍ ح و حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ جُنْدَبًا يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَهُ فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ(البخاري)

Terjamah Hadits / ترجمة الحديث :

Nabi SAW bersabda: barang siapa yang memperdengarkan (amalnya) maka Allah akan memperdengarkannya, dan barang siapa yang pamer (amalnya) maka Allah akan pamer dengan orang tersebut. (Bukhori)

Kandungan dan Keterangan Hadits

  1. Orang yang beramal dan memperdengarkan amalnya kepada orang lain maka dia termasuk orang yang  memamerkan amalnya kepada orang lain. Jika begitu maka tidak ada keikhlasan dalam beramal bagi orang yang suka memperdengarkan amalnya. Kalau kita berbicara mengenai riya’ yang lebih dalam lagi yaitu: menghitung amal baik kita dimasa lampau itu sudah termasuk riya’. Bahkan niat ibadah taqarrub billah itupun sudah riya’. Riya’ ada dua, riya’ murni dan campuran.
  2. Orang yang suka pamer nanti Allah akan pamer terhadap orang tersebut bahwa Allah maha kaya dan tidak membutuhkan amal dari orang tersebut. Sebenarnya hadits ini sangat simple dan praktis namun  sulit dilakukan. Seorang manusia yang beramal harus memurnikan niatnya karena Allah dan tidak boleh menceritakan amalnya tersebut. Penceritaan terhadap amal seseorang berarti manusia tersebut tidak ikhlas dengan amalnya. Sebenarnya jika seseorang itu imannya kuat, dan didorong ilmu yang cukup maka ia akan menjadi orang ikhlas dalam beramal dan untuk memperkuat iman itu harus dilakukan secara integral dan kaffah.

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الرَّازِيُّ عَنْ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فَارَقَ الدُّنْيَا عَلَى الْإِخْلَاصِ لِلَّهِ وَحْدَهُ وَعِبَادَتِهِ لَا شَرِيكَ لَهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ مَاتَ وَاللَّهُ عَنْهُ رَاضٍ قَالَ أَنَسٌ وَهُوَ دِينُ اللَّهِ الَّذِي جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ وَبَلَّغُوهُ عَنْ رَبِّهِمْ قَبْلَ هَرْجِ الْأَحَادِيثِ وَاخْتِلَافِ الْأَهْوَاءِ وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فِي آخِرِ مَا نَزَلَ يَقُولُ اللَّهُ فَإِنْ تَابُوا قَالَ خَلْعُ الْأَوْثَانِ وَعِبَادَتِهَا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوْا الزَّكَاةَ وَقَالَ فِي آيَةٍ أُخْرَى فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوْا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى الْعَبْسِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الرَّازِيُّ عَنْ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ مِثْلَهُ(ابن مجه:69)

Terjamah Hadits / ترجمة الحديث :

Dari Anas ibn Malik, dia berkata, Rasulullah bersabda: Barang siapa memisahkan diri dari dunia dengan ikhlas karena Allah dan ibadah kepadaNya yang tidak menyukutukannya, dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat kemudian ia mati, maka Allah ridho terhadapnya. Anas berkata: itulah agama yang para utusan datang dengan membawa agama tersebut, dan para utusan menyampaikan itu semua dari Tuhan mereka sebelum datang (turun cerita perang) dan bercampurnya hawa nafsu. Pembenaran itu semua ada pada akhir sesuatu yang telah diturunkan, Allah berfirman Fain Tabu dst.(Ibn Majah).

Kandungan dan Keterangan Hadits

  1. Orang hendaknya berniat untuk mencari dunia karena Allah, karena yang demikian termasuk ikhlas dan bernilai ibadah. Dan lagi seorang manusia hendaklah mencari dunia sekadarnya saja, karena dunia akan selalu menjadi penghalang bertemunya manusia dengan khaliqnya. Sebenarnya hadits ini sangat praktis namun sulit untuk dilakukan karena kebanyakan manusia terbelenggu oleh materi dunia.
  2. Setiap ibadah yang dilakukan oleh manusia haruslah dengan ikhlas yang semata-mata karena Allah. Kalau penulis boleh berbicara lebih dalam lagi, yaitu orang tersebut beribadah terdapat 3 alasan, dan menjadi kriteria keikhlasan masing-masing. 1) orang beribadah karena ingin mendapatkan surga dan takut dari neraka, 2) orang beribadah karena rasa syukur kepada Allah atas nikmatnya, 3) orang beribadah yang tidak mengharapkan imbalan atau apa-apa, ia hanya murni menjalankan kewajibannya sebagai hamba kepada tuhannya. Dan lagi yaitu hadits ini juga mengandung perintah untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun dan hal itu  juga dilakukan dengan ikhlas.
  3. Keridhaan Allah disini diterangkan karena seorang manusia menjalankan perintah Allah antara lain mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Pada dasarnya semua ini di background oleh iman seseorang kepada Allah, maka tanpa adanya iman manusia tidak akan menjalankan yang namanya islam dan keikhlasan dalam beramal. Sebagaimana diterangkan diatas bahwa ikhlas bertingkat-tingkat. Maka manusia tergantung kadar imannya dalam ikhlas fil amal.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُوقَةَ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنْ الْأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ قَالَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ(البخاري)

Terjamah Hadits / ترجمة الحديث :

Rasulullah SAW bersabda: para tentara akan berperang untuk merusak ka’bah, maka ketika tentara sudah sampai di tanah baida’, mereka di masukkan ke tanah dari yang terdepan sampai yang terakhir. Aisah berkata: saya berkata hai rasulullah, bagaimana mereka dimasukkan ke tanah dari  yang terdepan sampai yang terakhir dan didalamnya terdapat pasar mereka, dan orang yang bukan golongan mereka. Nabi bersabda: mereka dimasukkan ketanah (dirusak) dari awal hingga akhir kemudian mereka dibangunkan sesuai dengan niat mereka (Bukhori).

Kandungan dan Keterangan Hadits

  1. Orang yang merusak atau menantang Allah akan hancur. Dalam hadits ini lafadhnya praktis yaitu orang yang ingin menghancurkan ka’bah yang merupakan kiblat manusia untuk menyembah Allah.
  2. Hadits ini juga menunjukkan bahwa niat merupakan sesuatu hal yang penting dalam setiap perjalanan manusia. Orang sama-sama menuju ke tempat yang sama akan tetapi niatnya berbeda  maka akan menjadikan pandangan Allah berbeda terhadap kedua orang tersebut.
  3. Dalam hadits ini juga secara tidak langsung menyatakan bahwa Allah memandang batin seseorang dari pada fisik dan tempatnya. Hal itu terbukti bahwa orang yang niatnya berbeda yang berada di tengah-tengah tentara perusak akan dibangkitkan lagi.
  4. Jika seorang manusia berniat akan melakukan sesuatu haruslah ikhlas karena Allah dan semata-mata untuk mencari ridhonya. Maka jika manusia ikhlas dalam niat dan melakukan sesuatu, amal yang kecil akan lebih berharga dimata Allah daripada amal yang besar tapi tanpa niat yang ikhlas.
  5. Namun orang yang ikhlas tersebut berada dalam kekawatiran yang amat besar. Jika tergelincir sedikit niatnya maka hancurlah ikhlasnya.

حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ يَزِيدَ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

Terjamah Hadits / ترجمة الحديث :

Dari Nabi SAW, dia bersabda ketika seorang laki-laki memberi nafaqah kepada ahlinya dengan kecukupan (kadar yang cukup), maka baginya hal itu merupakan sedekah( Bukhori).

Kandungan dan Keterangan Hadits

  1. Sebenarnya kalau kita melihat hadits ini melakukan suatu amal itu tidak sulit. Dalam hadits ini dikatakan bahwa pemberian nafaqah laki-laki kepada ahlinya merupakan sedekah baginya.
  2. Namun lagi-lagi hal tersebut diperlukan niat yang benar dan keihklasan dari seseorang yang menafaqahi. Tanpa adanya niat yang benar maka sesuatu tersebut menjadi tidak bernilai. Seperti halnya ibadah jika memakai niat yang benar yang ikhlas karena Allah maka ibadah tersebut akan mempunyai muatan. Demikian halnya sebaliknya jika ibadah tersebut tanpa niat maka hal itu tidak ada bedanya dengan kebiasaan. Dan kebiasaan akan menjadi ibadah bila hal itu diniati dengan benar. Kalau berbicara masalah niat dan ikhlas itu mudah dibicarakan tetapi sulit diaplikasikan. Penulis sendiri belum tentu dapat mengaplikasikan hal tersebut.

حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَامِرُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

Terjamah Hadits / ترجمة الحديث :

Hakam ibn Nafi’ menceritakan kepadaku dia berkata Syuaib menceritakan kepadaku dari Zuhry dia berkata; Amir ibn Sa’ad menceritakan kepadaku dari Sa’ad ibn Abu Waqash, sesungguhnya dia memberi kabar kepadanya, sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: sesungguhnya kamu tidak memberikan nafaqah dengan mengharap wajah Allah dengan nafaqah tersebut, kecuali kamu di beri pahala atas hal itu, sehingga sesuatu yang kamu jadikan dalam mulut istrimu. (Muslim)

Kandungan dan Keterangan Hadits

  1. Hadits ini pada intinya sama dengan hadits diatas menyatakan bahwa amal atau pekerjaan laki-laki memberi nafkah keluarganya termasuk sedekah dan akan diberi imbalan oleh Allah. Karena pekerjaan tersebut lebih mulia  daripada meminta-minta.
  2. Akan tetapi hal itu harus dilandasi dengan niat semata-mata karena Allah. Sebagaimana penulis kemukakan diatas bahwa sesuatu akan mempunyai indikasi yang berbeda dengan niat yang berbeda. Maka apabila seseorang berniat melakukan sesuatu hendaklah dilakukan karena Allah.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً فَأَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ(البخاري)

Terjamah Hadits / ترجمة الحديث :

Dari Abu Musa dia berkata; laki-laki telah datang kepada nabi SAW, kemudian laki-laki berkata: seorang laki-laki berperang dengan panasnya hawa nafsu, dan laki-laki berperang dengan pemberani, dan laki-laki berperang dengan riya’(pamer), maka mana laki-laki yang berperang di jalan Allah. Nabi bersabda; seseorang yang berperang agar kalimat Allah menjadi mulia, maka dia termasuk orang yang berperang di jalan Allah (Bukhori)

 

Kandungan dan Keterangan Hadits

  1. Niat perang seseorang berbeda-beda, ada seseorang yang berperang karena menuruti hawa nafsunya. Yaitu orang yang berperang karena marah karena harga dirinya atau karena sesuatu yang diejek dari dirinya.
  2. Orang yang berperang dengan pemberani, pada prinsipnya ia hanya pemberani tanpa adanya suatu hal khusus yang mendorongnya berperang. Orang yang berperang karena  riya’ terhadap orang lain atau manusia yang lain. Orang ini berperangan karena mengharapkan pujian dari orang lain. Dan yang akan ia dapat hanyalah pujian itu.
  3. Semuanya itu tergantung kepada niatnya dan keikhlasannya, apabila niatnya untuk meluhurkan agama Allah maka ia termasuk Sabilillah dan itu harus dilakukan dengan ikhlas, tanpa mengharakan imbalan apapun.

 

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ فَيَبْقَى كُلُّ مَنْ كَانَ يَسْجُدُ فِي الدُّنْيَا رِيَاءً وَسُمْعَةً فَيَذْهَبُ لِيَسْجُدَ فَيَعُودُ ظَهْرُهُ طَبَقًا وَاحِدًا (البخاري)

Terjamah Hadits / ترجمة الحديث :

Laki-laki berkata saya mendengar dari nabi dia berkata Tuhanku membuka kekuasaannya kemudian setiap orang mu’min laki-laki dan perempuan sujud padaNya, maka masih tetap orang yang sujud di dunia karena riya’ dan sum’ah kemudian ia pergi untuk bersujud maka punggungnya kembali dengan pangkat satu (Bukhori)

Kandungan dan Keterangan Hadits

  1. Allah menyuruh manusia untuk menyembahNya karena manusia adalah seorang hamba, dan juga dibalik perintah tersebut terdapat perintah ikhlas dalam melakukannya tanpa mengharap apapun hanya menjalankan kewajiban saja.
  2. Namun diantara manusia terdapat orang yang riya’ yang suka memamerkan amalnya. Orang yang beramal seperti itu tidak akan berarti apa-apa, karena riya’ merupakan pelebur amal perbuatan manusia. Berbicara mengenai riya’ para ulama memberikan ta’rif yang berbeda-beda karena berbeda-bedanya maqam mereka ketika menghadapi hal itu. Sementara pembagian riya’ sudah diterangkan diatas. Mudah saja mengenai riya’ yaitu: meninggalkan suatu amal karena manusia itu namanya riya’ dan beramal karena manusia itu syirik.

Demikian penjelasan hadits dari kami, apabila terdapat kesalahan hal itu karena kami hanya merupakan manusia biasa yang tak luput dari kesalahan baik yang kami sengaja maupun tidak kami sengaja kami mengharap pembaca untuk berkenan memberikan saran dan kritik kepada kami, sedangkan jika benar itu semata merupakan hidayah, I’anah dan taufiq dari Allah.

وبالله التوفيق والهداية والحمد لله رب العلمين

والله اعلم بالصواب