Category Archives: Educational Management

PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU SEKOLAH


PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU SEKOLAH

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

 

Sekolah-sekolah yang memiliki keunggulan atau keberhasilan pendidikan oleh Owens, (1995: 81) lebih dipengaruhi dari kinerja individu dan organisasi itu sendiri yang mencakup nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), budaya, dan norma perilaku yang disebut sebagai the human side of organization (sisi/aspek manusia dan organisasi). Hal tersebut sesuai apa yang telah dilakukan oleh Frymier dan kawan-kawan (1984) dalam melakukan penelitian One Hundred Good Schools, yang dalam penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa iklim atau atmosphere sekolah, seperti hubungan interpersonal, lingkungan belajar yang kondusif, lingkungan yang menyenangkan, moral dan spirit sekolah berkorelasi secara positif dan signifikan dengan kepribadian dan prestasi akademik lulusan.

Dengan demikian, budaya sekolah dapat dikatakan bermutu bilamana memungkinkan bertumbuhkembangnya sekolah dalam mencapai suatu keberhasilan pendidikan. Budaya mutu sekolah adalah keseluruhan latar fisik, lingkungan, suasana, rasa, sifat, dan iklim sekolah secara produktif mampu memeberikan pengalaman dan bertumbuhkembangnya sekolah untuk mencapai keberhasilan pendidikan berdasarkan spirit dan nilai-nilai yang dianut oleh sekolah. Dalam hal ini, Depdiknas (2000) telah merumuskan beberapa elemen budaya mutu sekolah sebagai berikut: (1) informasi kualitas untuk perbaikan, bukan untuk mengontrol, (2) kewenangan harus sebatas tanggungjawab, (3) hasil diikuti rewards atau punishment, (4) kolaborasi, sinergi, bukan persaingan sebagai dasar kerjasama, (5) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya, (6) atmorfir keadilan, (7) imbal jasa sepadan dengan nilai pekerjaan, dan (8) warga sekolah merasa memiliki sekolah.

Sedangkan Peter dan Waterman (Hanson, 1996) menemukan nilai-nilai budaya yang secara konsisten dilaksanakan di sekolah yang baik, yaitu mutu dan pelayanan merupakan hal yang harus diutamakan, selalu berupaya menjadi yang terbaik, mem-berikan perhatian penuh pada hal-hal yang nampak kecil, tidak membuat jarak dengan klien, melakukan sesuatu sebaik mungkin, bekerja melalui orang (bukan sekedar bekerjasama atau memerintahnya), memacu inovasi, dan toleransi terhadap usaha yang berhasil.

Pengembangan budaya mutu sekolah merupakan tugas dan tanggung jawab kepala sekolah, selaku pemimpin pendidikan. Namun demikian, pengembangan budaya mutu sekolah mempersyaratkan adanya partisipasi seluruh personil sekolah dan stakeholder, termasuk orang tua siswa, dan oleh karena itu, secara manajerial pengembangan budaya mutu sekolah menjadi tanggung jawab kepala sekolah, sedangkan secara operasional sehari-hari menjadi tugas seluruh personil sekolah dan stakeholder terkait.

Proses pengembangan budaya mutu sekolah dapat dilakukan melalui tiga tataran, yaitu (1) pengembangan pada tataran spirit dan nilai-nilai; (2) pengembangan pada tataran teknis; dan (3) pengembangan pada tataran sosial. Pada tataran pertama, proses pengembangan budaya mutu sekolah dapat dimulai dengan pengembangan pada tataran spirit dan nilai-nilai, yaitu dengan cara mengidentifikasi berbagai spirit dan nilai-nilai kualitas kehidupan sekolah yang dianut sekolah, misalnya spirit dan nilai-nilai disiplin, spirit dan nilai-nilai tanggung jawab, spirit dan nilai-nilai kebersamaan, spirit dan nilai-nilai keterbukaan, spirit dan nilai-nilai kejujuran, spirit dan nilai-nilai semangat hidup, Spirit dan nilai-nilai sosial dan menghargai orang lain, serta persatuan dan kesatuan (Torrington & Weightman, dalam Preedy, 1993). Oleh karena itu, tidak ada pengembangan budaya mutu sekolah secara sistematik tanpa identifikasi berbagai spirit dan nilai-nilai yang dapat dijadikan landasan.

Dalam rangka pengembangan budaya mutu sekolah ada tiga langkah yang harus ditempuh oleh kepala sekolah, yaitu:

  1. Identifikasi spirit dan nilai-nilai sebagai sumber budaya mutu sekolah, yang dilakukan bersama dengan seluruh stakholder, dan ditetapkan sebagai sebuah kebijakan resmi sekolah dalam bentuk surat keputusan kepala sekolah.
  2. Sosialisasi secara kontinyu spirit dan nilai-nilai kepada seluruh stakholder, baik melalui pertemuan-pertemuan, majalah sekolah, buku penghubung sekolah, majalah dinding sekolah, diperagakan pada dinding kelas, maupun dalam bentuk surat edaran.
  3. Kepala sekolah selalu menumbuhkan komitmen seluruh stakeholder agar memegang teguh spirit dan nilai-nilai yang telah ditetapkan bersama.

Pada tataran kedua, adalah pengembangan tataran teknis. Pengembangan pada tataran teknis tersebut dilakukan setelah kepala sekolah bersama stakeholder telah ber-hasil mengidentifikasi spirit dan nilai-nilai, yaitu dengan cara mengembangan berbagai prosedur kerja manajemen (management work procedures), sarana manajemen (management toolkit), dan kebiasaan kerja (management work habits) berbasis sekolah yang betul-betul merefleksikan spirit dan nilai-nilai yang akan dibudayakan di sekolah.

Dalam rangka pengembangan tataran teknis budaya mutu sekolah dapat ditempuh oleh kepala sekolah melalui langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Kepala sekolah bersama seluruh stakeholder terkait mengevaluasi sejauh mana keseluruhan komponen sistem sekolah, seperti struktur organisasi sekolah, deskripsi tugas sekolah, sistem dan posedur kerja sekolah, kebijakan dan aturan-aturan sekolah, tatatertib sekolah, hubungan formal maupun informal, telah merefleksikan spirit dan nilai-nilai dasar yang sangat fungsional bagi tumbuh dan berkembangnya sekolah.
  2. Selanjutnya, kepala sekolah dengan stakeholder terkait mengembangkan berbagai ke-bijakan teknis pada setiap komponen sistem yang betul-betul merefleksikan spirit dan nilai-nilai dasar yang sangat fungsional bagi tumbuh dan berkembangnya sekolah. Bagi komponen sistem sekolah yang telah merefleksikan spirit dan nilai-nilai yang sangat fungsional bagi tumbuh dan berkembangnya sekolah sebaiknya tetap dipertahankan dan diimplementasikan, dan bilamana tidak hendaknya terlebih dahulu dilakukan berbagai perubahan dan pembaharuan seperlunya, dan setelah itu kepala sekolah selaku manajer sekolah berkewenangan untuk segera membuat berbagai kebijakan teknis.

Sedangkan pada tataran ketiga adalah pengembangan tataran sosial. Pengembangan tataran sosial dalam konteks pengembangan kultur sekolah adalah proses implementasi dan institusionalisasi sehingga menjadi sebagai suatu kebiasaan (work habits) di sekolah dan di luar sekolah.

PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH


PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

 

Perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), menggerakkan atau memimpin (actuating atau leading), dan pengendalian (controlling) merupakan fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam proses manajemen. Jika digambarkan dalam sebuah siklus, perencanaan merupakan langkah pertama dari keseluruhan proses manajemen tersebut. Perencanaan dapat dikatakan sebagai fungsi terpenting diantara fungsi-fungsi manajemen lainnya. Apapun yang dilakukan berikutnya dalam proses manajemen bermula dari perencanaan. Daft (1988:100) menyatakan: “When planning is done well, the other management functions can be done well.”

Perencanaan pada intinya merupakan upaya pendefinisian kemana sebuah organisasi akan menuju di masa depan dan bagaimana sampai pada tujuan itu. Dengan kata lain, perencanaan berarti pendefinisian tujuan yang akan dicapai oleh organisasi dan pembuatan keputuan mengenai tugas-tugas dan penggunaan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu. Sedangkan rencana (plan) adalah hasil dari proses perencenaan yang berupa sebuah cetak biru (blueprint) mengenai alokasi sumber daya yang dibutuhkan, jadwal, dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan.

Dalam pengertian tersebut, tujuan dan alokasi sumber daya merupakan dua kata kunci dalam sebuah rencana. Tujuan (goal) dapat diartikan sebagai kondisi masa depan yang ingin diwujudkan oleh organisasi. Dalam organisasi, tujuan ini terdiri dari beberapa jenis dan tingkatan. Tujuan pada tingkat yang tertinggi disebut dengan tujuan strategis (strategic goal), kemudian berturut-turut di bawahnya dijabarkan menjadi tujuan taktis (tactical objective) kemudian tujuan operasional (operational objective). Tujuan strategis merupakan tujuan yang akan dicapai dalam jangka panjang, sedangkan tujuan taktis dan tujuan operasional adalah tujuan jangka pendek yang berupa sasaran-sasaran yang terukur.

Dalam organisasi sekolah, tujuan strategis merupakan tujuan tertinggi yang akan dicapai pada tingkat sekolah. Tujuan ini bersifat umum dan biasanya tidak dapat diukur secara langsung. Tujuan-tujuan taktis merupakan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh-oleh bagian-bagian utama organisasi sekolah, misalnya bidang kurikulum, kesiswaan, atau kerja sama dengan masyarakat. Untuk SMK tujuan-tujuan taktis ini dapat berupa tujuan-tujuan yang harus dicapai pada tingkat jurusan atau program keahlian. Sedangkan tujuan operasional merupakan tujuan yang harus dicapai pada bagian-bagian yang secara struktur yang lebih rendah dari bagian-bagian utama sekolah tersebut. Tujuan mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran, misalnya, dapat dikategorikan sebagai tujuan operasional.

Masing-masing tingkatan tujuan tersebut terkait dengan proses perencanaan. Tujuan strategis merupakan tujuan yang harus dicapai pada tingkat rencana strategis (strategic plan). Tujuan taktis dan tujuan operasional masing-masing merupakan tujuan-tujuan yang harus dicapai pada rencana taktis (tactical plan) dan rencana operasional (operational plan).

Perlu dicatat bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, ada atau diadakan atas dasar asumsi, keyakinan, sistem nilai dan mandat tertentu. Dalam kaitannya dengan perencanaan, dasar-dasar keberadaan ini disebut dengan premis organisasi. Secara formal permis-premis perencanaan itu biasanya disajikan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan nilai-nilai fundamental organisasi. Visi dapat dipandang sebagai alasan atas keberadaan lembaga dan merupakan keadaan “ideal” yang hendak dicapai oleh lembaga; sedangkan misi adalah tujuan utama dan sasaran kinerja dari lembaga. Keduanya harus dirumuskan dalam kerangka filosofis, keyakinan dan nilai-nilai dasar yang dianut oleh organisasi yang bersangkutan dan digunakan sebagai konteks pengembangan dan evaluasi atas strategi yang diinginkan. Premis-premis tersebut harus menjadi titik-tolak dalam perencanaan. Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan yang tertuang dalam rencana harus berada dalam kerangka premis-premis itu.

Perencanaan pengembangan sekolah (school development planning) merupakan proses pengembangan sebuah rencana untuk meningkatkan kinerja sebuah sekolah secara berkesinambungan. Perbedaan pokok rencana pengembangan dengan rencana lainnya terletak pada tujuan. Sedangkan herarkhi tujuan dan rencana sebagaimana telah diuraikan di atas juga berlaku dalam rencana pengembangan. Tujuan yang akan dicapai dalam rencana pengembangan merupakan hasil-hasil yang lebih baik dari apa yang selama ini telah dicapai oleh sekolah. Rencana pengembangan sekolah disusun agar sekolah terus-menerus meningkatkan kinerjanya. Oleh karena itu, selain didasarkan pada visi dan misi sekolah, perencanaan pengembangan harus didasarkan atas pemahaman yang mendalam tentang keberadaan dan kondisi sekolah pada saat rencana pengembangan itu disusun. Pemahaman semacam ini dapat dilakukan melalui kajian dan telaah mendalam terhadap kondisi internal maupun lingkungan eksternal dimana sekolah itu berada.

Kerangka umum proses perencanaan pengembangan sekolah sebenarnya dapat digambarkan sebagai sebuah siklus yang bergerak mengelilingi sebuah titik pusat. Siklus itu terdiri dari empat langkah kunci: Telaah (Review) atau evaluasi diri (self evaluation), Rancangan Strategi (Strategy Design), Implementasi (Implementation), dan evaluasi. Sedangkan titik pusatnya terdiri dari: Visi, Misi, dan Tujuan.

Untuk mengoperasionalkan siklus tersebut, langkah-langkah dalam proses perencanaan dapat diubah menjadi sejumlah pertanyaan pokok. Ma­sing-masing langkah dapat direpresentasikan dengan sebuah pertanyaan pokok yang dijabarkan menjadi pertanyaan-pertanyaan khusus. Pertanyaan-pertanyaan khusus ini kemudian digunakan untuk menentukan tugas-tugas utama yang harus dilaksanakan dalam proses perencanaan pengembangan.

SEKIAN

SEMOGA BERMANFAAT

RESENSI BUKU KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN


RESENSI BUKU

 

Judul Buku               :  Kepemimpinan Pendidikan: Kepemimpinan Jenius (IQ + EQ), Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos

Pengarang                : Sudarwan Danim

Penerbit                    : CV.Alfabeta Bandung

Tahun Terbit             : 2010

Jumlah halaman        :  230 Halaman

Peresensi                  : Heni Sriwuryani

 

 

 

Buku yang ditulis oleh Sudarwan Danim ini terdiri dari dua belas bagian, yaitu tipologi dan sejarah studi kepemimpinan pada bagian pertama, dilanjutkan dengan teori kepemimpinan dan karakter pemimpin efektif pada bagian kedua selanjutnya kualitas pemimpin dan pendidikan kepemimpinan pada bagian ketiga. Selanjutnya pada bagian keempat Danim membahas mengenai menjadi pemimpin yang jenius, pada bagian kelima membahas mengenai performa pemimpin dan kualitas kehidupan kerja, pada bagian keenam membahas gaya kepemimpinan dan perilaku motivasional dan pada bagian ketujuh ia membahas mengenai motivasi dan kunci kepemimpinan motivasional, selanjutnya membahas perilaku tim dan kepemimpinan transaksional,  yang dilanjutkan etika dan proposisi perilaku kepemimpinan pada bagian delapan dan sembilan. Tidak lupa Danim membahas mengenai mitos-mitos kepemimpinan, kepemimpinan guru dan kaderisasi kepemimpinan, pada bagian sepuluh dan sebelas diakhiri dengan kepemimpinan kritis dan sindroma pasca kuasa pada bab terakhir.

Dalam buku ini, penulis menguraikan seputar kepemimpinan dan teori-teorinya mulai dari gaya kepemimpinan, kepemimpinan efektif, motivasional, bahkan mitos kepemimpinan sampai pada kaderisasi kepemimpinan dan kepemimpinan kritis. Penulis melakukan pembahasan secara komparatif, dan hanya mengeksplore teori-teori kepemimpinan juga menjelaskan secara detail, namun tidak mengkritisi kelebihan dan kekurangan masing serta mana teori yang paling update.

Pada bagian pertama yaitu membahas tentang tipologi dan sejarah studi kepemimpinan. Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai awal mula kepemimpinan atau babak sejarah kepemimpinan, yang dimulai dengan pemimpin versus pengikut sampai pada penjelasan mengenai studi kepemimpinan modern yang dilakukan oleh para ahli. Di tengah-tengah itu, ada kepemimpinan situasional, multi kepemimpinan, sampai pada kepemimpinan yang efektif yang berkembang pada dekade akhir-akhir ini.

Pada bagian kedua penulis menjelaskan mengenai definisi kepemimpinan, teori kepemimpinan dan karakter pemimpin efektif. Kepemimpinan diambil dari kata pemimpin yang dalam bahasa Inggris disebut leader dari akar kata to lead yang terkandung arti yang saling erat berhubungan: bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya. Selanjutnya, penulis akan menjelaskan definisi kepemimpinan menurut para ahli. Definisi kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam membimbing sesuatu kelompok sedemikian rupa, sehingga tercapailah tujuan dari kelompok itu. Penulis mendefinisikan kepemimpinan adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok lain yang tergabung dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kepemimpinan merupakan misteri yang belum terpecahkan sehingga banyak diteliti oleh banyak pakar. Banyak cabang ilmu yang masuk dalam studi kepemimpinan, sehingga kepemimpinan selalu menjadi fokus penelitian. Awalnya, teori-teori kepemimpinan berfokus pada kualitas apa yang membedakan antara pemimpin dan pengikut (leaders dan followers), selanjutnya teori-teori kepemimpinan memadang faktor-faktor situasional dan ketrampilan individual. Begitu banyak teori kepemimpinan yang muncul, yang jika ditelusuri dalam beberapa referensi, akan didapatkan delapan jenis teori kepemimpinan. Ciri atau karakteristik seorang pemimpin yang efektif dikelompokkan menjadi dua sifat penting, yaitu mempunyai visi dan bekerja dari sudut efektifitas mereka.

Pada bagian ketiga, penulis menjelaskan mengenai kualitas pemimpin dan pendidikan kepemimpinan. Pemimpin haruslah berkualitas supaya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Kualitas seorang pemimpin terletak pada kepribadiannya. Pemimpin harus mempunyai pribadi yang luhur supaya dapat memimpin dengan baik dan mengambil kebijakan dengan tepat. Maka dari itu, untuk menjadi seorang pemimpin diperlukan pendidikan kepemimpinan, yang biasanya dilakukan melalui pendidikan-pendidikan khusus, dan diklat kalau di Indonesia.

Pada bagian keempat, penulis menjelaskan mengenai pemimpin yang jenius. Pemimpin yang ketika mengambil keputusan menggunakan IQ dan EQ nya. Inteligensi adalah kecakapan yang terdiri dari 3 jenis, yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui atau menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat. Jika seorang pemimpin mempunyai hal tersebut, maka seorang pemimpin akan mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.

Pada bagian kelima, penulis menjelaskan mengenai performa kepemimpinan dan kehidupan kerja. Performance kepemimpinan sering diartikan sebagai penampilan atau perilaku  kinerja kepala madrasah dalam mempengaruhi perilaku bawahan atau pengikut-pengikutnya. Jika seseorang dalam posisi sebagai pimpinan didalam sebuah organisasi atau perusahaan, dan menginginkan pengembangan staf dan membangun sistem komunikasi untuk menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi, maka yang bersangkutan harus memikirkan performance kepemimpinannya.

Pada bagian keenam, penulis menjelaskan mengenai gaya kepemimpinan dan perilaku motivasional. Mulai dari teori X dan teori Y, studi Ohio, sampai pada teori EGR. Gaya dalam bahasa lainnya adalah tipe. Tipe kepemimpinan membawa diri sebagai pemimpin membawa diri sebagai pemimpin. Cara ia berlagak dan tampil dalam menggunakan kekuasaannya. Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, tempramen, watak dan kepribadian sendiri yang unik dan khas sehingga  tingkah laku dan gayanya yang membedakan dirinya dengan orang lain. Tipe kepemimpinan merupakan suatu pola perilaku seorang pemimpin yang khas pada saat mempengaruhi anak buahnya, apa yang dipilih oleh pemimpin untuk dikerjakan. Cara pemimpin bertindak dalam mempengaruhi anggota kelompok membentuk tipe kepemimpinannya. Secara teoritis telah banyak dikenal tipe kepemimpinan, namun tipe mana yang terbaik tidak mudah untuk ditentukan. Gaya kepemimpinan sangat erat dengan motivasi.

Pada bagian ketujuh, penulis menerangkan mengenai motivasi. Motivasi adalah kecenderungan (suatu sifat yang merupakan pokok pertentangan) dalam diri seseorang yang membangkitkan topangan dan mengarahkan tindak-tanduknya. Motivasi meliputi faktor kebutuhan biologis dan emosional yang hanya dapat diduga dari pengamatan tingkah laku manusia. Motivasi secara umum didefinisikan sebagai inisiasi dan pengarahan tingkah laku dalam pelajaran motivasi sebenarnya merupakan pelajaran tingkah laku. Sedangkan motif adalah suatu perangsang keinginan (want) dan daya penggerak kemauan bekerja seseorang. Setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai (penulis). Perbedaan pengertian keinginan (want) dan kebutuhan (needs) adalah keinginan (want) dari setiap orang berbeda karena dipengaruhi oleh selera, latar belakang, dan lingkungannya, sedangkan kebutuhan (needs) semua orang adalah sama. Misalnya, semua orang butuh makan (needs), tetapi jenis makanan yang diinginkannya (want) tidak selalu sama tergantung pada selera masing-masing individu. Hal inilah yang menyulitkan manajer untuk memberikan alat motivasi yang tepat bagi setiap individu bawahannya.

Pada bagian kedelapan, penulis menjelaskan kepemimpinan transaksional dan transformasional. Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang menekankan pada tugas yang diemban bawahan. Kepemimpinan transaksional lebih difokuskan pada peranannya sebagai manajer karena ia sangat terlibat dalam aspek-aspek prosedural manajerial yang metodologis dan fisik. Oleh karena itu, kepemimpinan transaksional dihadapkan pada orang-orang yang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dari segi sandang, pangan, dan papan. Teori tentang kepemimpinan transformasionl atau inspirasional didasarkan pada ide dari Burns (1978), tetapi telah ada lebih banyak penelitian empiris mengenai versi dari teori yang diformulasikan oleh Bass (1985,1996) dari pada versi lainnya, Yukl ( 2001:304-305). Inti dari teori itu adalah perbedaan antara kepemimpinan transformasional dan kepeimpinan transaksional. Kedua jenis kepemimpinan itu didefinisikan dalam hal perilaku komponen yang digunakan untuk mempengaruhi para pengikut dan pengaruh dari pemimpin kepada para pengikut.

Bagian kesembilan dari buku ini menjelaskan mengenai etika dan proposisi perilaku kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mempunyai etika dalam melakukan kepemimpinannya. Seorang pemimpin yang mempunyai etika biasanya lebih dihormati daripada pemimpin yang tidak beretika. Pada bagian kesepuluh, penulis menjelaskan mengenai mitos-mitos kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli. Mitos tersebut bisa menjadi teori kepemimpinan dan biasanya ditakuti oleh seorang pemimpin.

Pada bagian kesebelas, penulis menjelaskan mengenai kepemimpinan guru dan kaderisasi kepemimpinan. Guru juga merupakan seorang pemimpin di dalam kelas. Karena guru adalah pengendali kegiatan di dalam kelas. Kader sendiri dalam  istilah ketentaraan  memiliki arti sebagai perwira atau bintara; orang yang diharapkan akan memegang pekerjaaan penting dalam pemerintahan atau partai. Dalam pengertian lain juga diartikan sebagai calon atau tunas yang didik untuk melanjutkan tongkat estafet partai atau organisasi. Prinsipnya, kaderisasi merupakan upaya regenerasi yang dilakukan oleh suatu organisasi untuk menyiapkan pemimpin-pemimpin handal dalam melaksanakan visi dan misi organisasi ke depan

Pada bab terakhir, penulis mengemukakan tentang kepemimpinan krisis dan sindroma pascakuasa. Kepemimpinan krisis adalah kepemimpinan pada saat-saat krisis. Sedangkan sindroma pascakuasa adalah sindrom yang biasa diderita oleh bekas pemimpin. Hal ini dijadikan penutup dan pembahasan akhir buku ini supaya buku ini runtut dan menarik ketika dibaca.

Kelebihan buku ini adalah walaupun buku ini ringkas, namun bisa mendeskripsikan teori-teori kepemipinan bahkan sampai pada mitos kepemimpinan dengan sangat detail dan gamblang. Buku ini cocok untuk pegangan para pemerhati organisasi dan juga seorang pemimpin bahkan seorang mahasiswa sekalipun yang mengikuti mata kuliah kepemimpinan pendidikan karena bahasanya mudah dipahami dan enak dimengerti. Di samping itu, buku ini juga dilengkapi dengan bagan yang bisa digunakan untuk membantu memahami narasi yang dikemukakan.

Sedangkan sisi kelemahan dari buku ini (dengan tidak mengurangi rasa penghargaan dan apresiasi yang tinggi terhadap buku ini) adalah, karena judulnya mengandung kata pendidikan, maka mestinya semua paparan teori tentang kepemimpinan tersebut ditarik ke dalam dunia pendidikan. Namun, dalam buku ini teori kepemimpinan dinarasikan secara umum tanpa diambil benang merah ke dunia pendidikan atau organisasi pendidikan.

Demikian resensi yang bisa penulis uraikan, buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca, khususnya di kalangan civitas akademika dan juga para pemikir intelek untuk bangkit menggali kembali khasanah teori-teori kepemimpinan dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang studi kepemimpinan. Karena diharapkan masih ada pengembangan-pengembangan keilmuan tentang kepemimpinan. Demikian, terima kasih