Category Archives: Islamic Artikel

Nilai-Nilai Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah


Nilai-nilai Aswaja

KONSEP DASAR ESQ


KONSEP DASAR ESQ

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

 

  1. 1.        Pengertian ESQ (Emotional-Spiritual Quotient)

Manusia adalah makhluk sosial, ia tidak akan pernah dapat hidup dalam keadaan sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, ia harus melakukan hubungan dengan orang lain, oleh karena itu secara naluri manusia akan selalu ingin membentuk kelompok-kelompok sosial, guna memenuhi kebutuhan hidup mereka tersebut. Yang hal ini pada akhirnya terbentuklah apa yang disebut dengan masyarakat.

Masyarakat merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut system adat istiadat yang bersifat kontiniu dan yang terikat oleh satu rasa identitas bersama (Koentjoro Ningrat, 1990: 164). Kumpulan manusia tersebut bisa disebut mayarakat, apabila memiliki syarat-syarat antara lain: kesatuan dalam hidup, adanya interaksi antara sesama warga komunitas tersebut, adanya keterikatan satu identitas bersama. Seiring dengan perkembangan pola pikir manusia dan kemajuan peradaban, maka kondisi masyarakat pun juga selalu mengalami perubahan dan perkembangan menuju arah yang lebih baik.

Meminjam istilah Dr. Ali Syariati, yang dikutip oleh Ary Ginanjar Agustian (2001: XX), mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk dua-dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kebutuhan dunia dan akherat. Oleh karena itu manusia haruslah mempunyai konsep duniawi atau kepekaan emosi dan intelejensia yang baik (EQ plus IQ) dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau Spiritual Quotient (SQ), sehingga melalui istilah dua-dimensial tersebut sebuah upaya penggabungan ketiga unsur tersebut haruslah dilakukan.

Dalam kajian kebangkitan postmodernpun disebutkan bahwa ternyata manusia tidak hanya menginginkan terpenuhinya kebutuhan materiil sebagaimana yang ingin dicapai oleh modernisasi, karena ketika manusia hanya oriented-materialistik maka hanya akan mengalami krisis dalam segala bidang, tercapainya kebahagiaan yang semu, dan tujuan yang hakiki manusia tidak akan pernah tercapai. Untuk keluar dari lingkungan krisis dan permasalahan tersebut, maka manusia harus kembali kepada hikmah Spiritual Ilahiyah yang terdapat dalam semua agama yang otentik (Syamsul Arifin, 1996: 34). Dalam hal ini berarti perlu adanya penyesuaian antara pencapaian kebutuhan materiil melalui pengembangan emosional seseorang (EQ), dan pencapaian kebutuhan Spiritual Ilahiyah, melalui pengembangan SQ (Spiritual Quotient). Dengan kesesuaian antara EQ dan SQ tersebut seseorang akan mampu bahagia di dunia dan akhirat.

Dalam kehidupan modern dan kondisi masyarakat yang semakin tertata inilah hendaknya antara kebutuhan duniawi dan ukhrowi bisa berjalan bersama-sama. Oleh karena itu, dengan adanya konsep ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) atau kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual, diharapkan antara kebutuhan duniawi dan ukhrowi tidaklah bertentangan namun mampu untuk berjalan bersama-sama dalam menghantarkan tujuan dan hakikat manusia yang sesunggguhnya.

Dalam agama Islam sebenarnya terdapat cara untuk menyepadankan dua kebutuhan tersebut, menumbuhkan kecerdasan emosional (EQ) dan tetap menjaga dan mengembangkan potensi ruhiyah Ketuhanan atau Spiritual Quetient (SQ), cara inilah yang disebut dengan jalan tarekat atau biasa disebut dengan pola hidup bertasawuf. Selama ini ada pandangan keliru, yang menganggap bahwa kehidupan tasawuf berarti meninggalkan kepentingan dan kehidupan duniawi guna menuju pada kehidupan akhirat semata. Pandangan ini sudah lama berkembang dalam dunia Islam, sehingga banyak kalangan umat Islam yang takut dan enggan masuk dalam ranah dunia tasawuf, hanya karena takut dengan rumor yang berkembang itu. Sebenarnya kehidupan tasawuf yang benar tidaklah meninggalkan kehidupan dunia demi akherat semata, namun mampu menyepadankaan dan memenej antara keduanya, karena memang Allah menciptakan keduanya tidak lain juga untuk manusia.

Untuk itu perlulah kiranya dikaji secara lebih mendalam mengenai kecerdasan emotional (EQ) dan kecerdasan Spiritual (SQ) serta bagaimana langkah-langkah dalam mengembangkan potensi ESQ guna mencapai tujuan manusia yang sesungguhnya, yaitu insan kamil yang mampu melakukan hubungan vertikal-horizontal sehingga hidup bahagia di dunia dan akherat.

 

Pengertian EQ (Emotional Quotient)

Istilah kecerdasan emosional atau yang di kenal dengan EQ (Emotional Quotient) pertama kali di lontarkan pada tahun 1990 oleh Psikolog Peter Solovey dari Harvard University dan John Mayor dari University of New Hampshire, untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya sangatlah penting bagi keberhasilan (Laurence E. Shapiro, 1999: 5).

Para ahli telah banyak yang mengungkapkan pengertian EQ (Emotional Quotient) antara lain, menurut Salovey dan Mayer yang di kutip oleh Lawrence (1999: 8), mengatakan bahwa EQ (Emotional Quotient) merupakan himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Sedangkan menurut Daniel Goleman (2002: 512), EQ (Emotional Quotient)  merupakan kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Dengan kemampuan yang dimilikinya tersebut ia akan dapat memperoleh keberhasilan.

Setelah di ketahui beberapa pendapat dari para ahli dalam mendefinisikan pengertian EQ (Emotional Quotient), maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional melingkupi dua kategori kecakapan yang harus dimiliki yaitu: pertama, kecakapan pribadi, yang melingkupi kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi. Yang kedua, kecakapan sosial yang melingkupi empati dan ketrampilan sosial (bermasyarakat).

 

Pengertian SQ (Spiritual Quotient)

Kecerdasan Spiritual (SQ) merupakan temuan terkini yang secara ilmiyah pertama kali di gagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshal, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiyah tentang SQ (Spiritual Quotient) ini, pertama, riset ahli Psikologi atau syaraf, Michael Persinger pada awal tahun 1990-an dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf  V. S. Ramachan dan timnya dari California University, yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia, ini sudah built-in sebagai pusat spiritual (Spiritual Center) yang terletak di antara jaringan syaraf dan otak. Sedangkan bukti kedua, adalah riset ahli syaraf Austria Wolf Singer, pada era 1990-an atas the binding problem yang menunjukkan ada proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dan pengalaman hidup kita, suatu jaringan syaraf yang secara literal mengikat pengalaman kita bersama untuk hidup yang lebih bermakna. Pada God-Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yag terdalam (Ary Ginanjar, 2001: XXXiX).

Danah Zohar dan Ian Marshall sebagaimanaa yang di kutip Ary Ginanjar (2001: 57), mendefinisikan SQ (Spiritual Quotient) sebagai suatu kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, atau bisa juga di sebut sebagai kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan orang lain.

Akan tetapi teori SQ dari barat ini belum atau bahkan tidak menjangkau masalah Ketuhanan. Pembahasanya baru sebatas Biologi dan Psikologi semata, tidak bersifat transendental. Akibatnya masih banyak ditemukan kebuntuan.  Kebenaran yang sejati sebenarnya teletak kepada suara hati yang bersumber pada God Spot yang merupakan fitrah manusia untuk mencari eksistensi dirinya sebagai mahluk Tuhan.

Berbeda dengan pengertian SQ (Spiritual Quotient) yang telah diberikan oleh para ilmuan barat, para ahli agama yang menganggap bahwa kecerdasan spiritual merupakan suatu potensi yang ada pada setiap diri manusia yang bersumber kepada fitrah Ketuhanan, tidaklah hanya sebatas kepada tataran Biologi dan Psikologi sebagaimana yang dikatakan oleh para ilmuan barat.

Menurut Dr. H. M. Idris Abdul Shomad (2005: 22) mendefinisikan SQ (Spiritual Quotient) sebagai suatu sifat, sikap, dan perilaku takwa kepada Allah SWT yang dibuktikan dengan amal sholeh (kebaikan-kebaikan) yang dilandaskan pada keimanan kepada Allah SWT.

Sedangkan menurut Ary Ginanjar Agustian (2001: 5), menjelaskan bahwa SQ (Spiritual Quotient) adalah kemampuan untuk memberikan makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yag sesungguhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah.

Dari beberapa definisi SQ (Spiritual Quotient) yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa pada intinya SQ (Spiritual Quotient) merupakan kemampuan seseorang untuk memberikan makna kehidupan yang berlandaskan iman dan takwa kepada Allah SWT, dengan menggunakan seluruh potensi yang ada dalam dirinya baik dhohir maupun batin untuk selalu melakukan hubungan, baik secara vertikal (manusia dengan Tuhanya) maupun horizontal (manusia dengan sesama mahluk Tuhan), sehingga tujuan manusia yang hakiki untuk bahagia di dunia dan akherat dapat tercapai.

SEKIAN

SEMOGA BERMANFAAT

SEKILAS PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA


SEKILAS PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

 

Bila membicarakan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh memainkan peran yang sangat penting. Karena Aceh merupakan wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Indonesia khususnya, umumnya dengan Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Negara Semenanjung Malaya. Untuk itu tentang sejarah pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh menempati posisi pertama dan strategis, karena nantinya akan mewarnai perkembangan tasawuf di indonesia secara keseluruhan.  Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan study (belajar) ke negara Timur Tengah. Di antara para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan di beberapa literatur diantaranya adalah: Nuruddin Ar Raniri (wafat tahun 1658 M), Abdur Rauf As Sinkili (1615 -1693 M), Muhammad Yusuf Al makkasary (1629-1699 M). Mereka ini belajar di kota Makkah.

Abdurrauf As-Sinkili setelah belajar beberapa lama kemudian diangkat sebagai khalifah Tarekat Syatariyah oleh Muhammad Al-Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya meninggal. Keberadaannya di tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk bahkan dijadikan sebagai panutan di masyarakat, bermodal kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya serta kegigihan murid-muridnya, maka dengan mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran Thariqot sufiyahnya dengan perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar sampai ke Minang Kabau (Sumatra Barat). Salah satu murid Abdur Rouf as Sinkili yang berhasil menyebarkan paham ini adalah Burhanuddin. Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan oleh As Sangkili yang berkembang pesat di tanah Minang yang terkenal dengan religiusnya itu. As-Sinkili meningggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas. Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang.

Sedang Muhammad Yusuf Al Makasary setelah bertemu dengan gurunya yakni Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al Kholwati Al Khurosy As Syami Ad Dimasqy, kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah bagi aliran Thariqot Kholwatiyah dan diberi gelar dengan Taj Al Kholwati (Mahkota Kholwati). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham Kholwatiyah ditanah Rencong ini.

Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Ar-Raniri  (Ar-Raniri) masuk ke tanah Aceh pada masa kekuasaan Sultan Iskandar muda. Tapi Pada masa itu yang berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syamsudin As-Sumatrani, putra kelahiran Aceh, beliau adalah murid hamzah Fansuri dan mendapatkan pendidikan kesufian dari hamzah Fansuri yang diberi gelar ulama’ dan berpemahaman Sufi Wujudiyah. Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup strategis, maka dengan mudah ia mengembangkan paham yang dianutnya itu. Syamsudin ini bekerjasama dengan Hamzah Fansuri, seorang ulama’ yang banyak mengekspresikan pemahamannya melalui keindahan kata (prosa).

Dan dari beberapa catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu yang study di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawwuf (tarekat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan disini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al Palimbani dan Muhammad Arsyad al Banjari (1710, 1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mampu merombak wajah Kerajaan Banja di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil Al Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar Masin.

Pendapat yang berkembang dikalangan Ahlu Tarekat, dewasa ini di Indonesia bekembang dua macam kelompok tarekat, yaitu tarekat mu’tabarah dan ghairu mu’tabarah.Beberapa kelompok yang tergolong mu’tabarah seperti; Qodariyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah, Syathariyah, Syadzaliyah, Khalidiyah, Samaniyah dan Alawiyah. Dari sekian banya Thariqot mu’tabarah (berdasarkan muktamar NU di pekalongan tahun 1950, dinyatakan 30 macam Thariqot yang di nilai mu’tabarah), Thariqot Naqsabandiyah – Qodariyah merupakan yang terbesar.

SEKIAN

SEMOGA BEREMANFAAT