Monthly Archives: August, 2013

URGENSI MENGAJI


URGENSI MENGAJI

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

(Guru Sang Dewo (SMPN 2 Pagerwojo) & Akademisi UIN Maliki Malang)

Mengaji merupakan salah satu bagian ibadah kepada Allah. Dalam perspektif budaya Islam di tanah jawa (lihat Bruinessen, 2011), mengaji dibedakan menjadi tiga, pertama mengaji dalam bentuk membaca al-Qur’an; kedua mengaji dalam bentuk membaca, menguraikan, menganalisis, atau bahkan mendengarkan kitab klasik; ketiga mengaji dalam bentuk ceramah di depan masyarakat atau majlis taklim. Mengaji dalam bentuk yang pertama ini biasanya dilakukan oleh anak-anak sekitar umur 6-15 tahun. Mengaji dalam bentuk yang pertama ini dilakukan di Surau-surau, langgar, atau masjid dengan guru ngaji yaitu ustadz. Kalau di kota-kota besar dan negara-negara guru ngaji seperti ini mendapatkan insentif, bahkan ada yang mengatakan insentifnya cukup besar sekitar 500 ribu satu bulan. Namun, kalau di desa guru ngaji seperti ini tidak mendapatkan honor, niatnya hanya lillahi ta’ala. Namun di desa, guru ngaji mendapatkan penghormatan dari masyarakat-masyarakat sekitar.

Mengaji dalam bentuk yang kedua ini dilakukan di pondok-pondok, masjid-masjid, rumah-rumah dan majlis taklim bahkan juga di radio-radio tertentu dan biasanya oleh seorang Kiai. Seorang kiai biasanya menguraikan kitab-kitab kuning dengan cara tradisional yaitu dengan menjelaskan artinya perkata atau makna gandul. Mengaji dalam bentuk yang demikian ini malah tidak mendapatkan honor sama sekali, honornya adalah lillahi ta’ala. Namun, dalam mengaji seperti ini terdapat barokah yang biasanya tidak terduga, misalnya keluarganya tenteram, terhindar dari masalah, tidak dirundung kekhawatiran, tidak pikun dan mendapatkan rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka.

Mengaji dalam bentuk ketiga biasanya dilakukan di majlis taklim, pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh masyarakat. Mengaji dalam bentuk yang ketiga ini identik dengan salah satu bentuk dakwah. Walaupun tidak menutup kemungkinan bentuk pertama dan kedua di atas, juga salah satu bentuk dakwah. Mengaji dalam bentuk ketiga ini dilakukan tidak kontinue, dan juga biasanya mendapatkan honor, walaupun hanya berupa berkat (nasi yang biasanya dibagikan setelah pengajian).

Semua bentuk mengaji di atas sangat bermanfaat bagi masyarakat. Jika anda sekalian merupakan orang yang berilmu maka bagikanlah ilmu anda kepada masyarakat dengan berbagai jalan dan bentuk. Yang penting adalah keikhlasan dalam berbagi, insya Allah akan menjadi salah satu ilmu yang bermanfaat.

SEKIAN

SEMOGA BERMANFAAT

MA’RIFAT AL-GHAZALI


MA’RIFAT AL-GHAZALI

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

(Guru Sang Dewo (SMPN 2 Pagerwojo) & Akademisi UIN Maliki Malang)

 

A.    Biografi al-Ghazali

Al- Ghazali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat adalah seorang ahli sains terkemuka. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara ilmu. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Selain di kenal sebagai tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’ usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Al-Ghazali menganggap para filosof pada saat itu telah melewati batas dan terjadi kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum filsafat sehingga ia berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada zaman itu.

Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush yaitu kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran. Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.

Pendidikannya dimulai didaerahnya yaitu belajar kepada Ahmad Ibnu Muhammad al – Razkani al – Thusi, setelah itu pindah ke Jurjan ke pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili mempelajari semua bidang agama dan bahasa, setelah tamat kembali ke Thus belajar tasawuf dengan Syekh Yusuf al – Nassaj (wafat 487 H) , kemudian ke Nisyapur belajar kepada Abul Ma’al al-Juwaini yang bergelar Imam al – Haramain dan melanjutkan pelajaran Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al – Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali al – Farmadi, dan ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh. Setelah Imam al – Juwaini wafat ia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar kalangan ulama dan intelektual dan dengan segala kecermelangannya membawanya menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H, disamping memberikan kuliah, ia juga mengkaji filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kecermelangan, keharuman namanya dan kesenangan duniawi yang melimpah ruah di Baghdad melebihi ketika ia di Mu’askar, dikota ini ia sakit dan secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad mengundurkan diri dari kegemerlapan duniawi tersebut.

Al-Ghozali hidup pada saat keadaan politik yang kacau. Pada saat itu pemerintahan Abbasiah sudah tidak ada pengaruhnya dengan munculnya Dailami Saljuk kemudian Qowamuddin Nizamul Mulk selain itu juga terjadi perang saudara.

Al–Ghazali adalah anak dari seorang yang wara’ yang hanya makan dari usahanya sendiri, dengan pekerjaan memintal dan menjual wol di sebuah toko tua di kota Thus Propinsi Khurasan, wilayah Persi. Meski pekerjaan ayahnya tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari, namun ayahnya adalah seseorang yang cinta dengan Ulama’ selain itu dia terus menerus meminta kepada Tuhan (Allah SWT) agar anak – anaknya senantiasa mendapat anugerah dan hidayah dari Allah SWT supaya menjadi anak yang berguna dan berpengetahuan luas. Dengan penuh harapan kiranya kedua putranya kelak dapat memenuhi harapan dan keinginannya. Selain itu keadaan perekonomian dinegara itu sedang kacau, karena adanya kholifah yang korupsi, sehingga menyebabkan banyaknya kefakiran. Ayahnya sebelum wafat, menitipkan al Ghazali ketika masih kecil kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapat pendidikan dan bimbingan.

B.     Al-Ghazali dan Tasawuf

Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang tidak beri’tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, “Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak beri’tikad dengan wihdat al-wujud”.

Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya ‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya. Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.

Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.

Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.

Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.

Al Ghazali dipandang sebagai penyelamat tasawuf dari kehancuran, yakni dengan cara mengintegrasikan dengan fiqih dan kalam hingga menjadi ajaran Islam yang utuh, yang sebelumnya masing-masing berdiri sendiri dan sering berbenturan. Upaya al Ghazali ini barang kali yang membuatnya diberi kehormatan dengan sebutan Hujjatul Islam. Dasar ontology tasawuf yang mengakui otoritas jiwa sebagai substansi yang berdiri dan merupakan tempat bersemayamnya pengetahuan intelektual. Selain itu al Ghazali juga mengakui metafisika cahaya (nur), yang mana Allah sebagai asal usul segala cahaya serta hubungan dengan dunia ciptaan yang menerima cahaya dari-Nya. Tentang moral bahwa tasawufnya bersifat religius dan sufistik, meski tidak berarti al Ghazali menolak prinsip etika yang berasal dari sumber lain, yakni filsafat. Dari sini sebenarnya sudah tampak bahwa pemikiran al Ghazali tidak menafikan peranan akal dalam konsep tasawufnya. Ditinjau dari dimensi rasionalitas, konsepsi tasawuf  al Ghazali berdasarkan epistemology yangh dikembangkan tampak tercermin pada:

  1. Penggunaan logika yang tetap dalam memahami tasawuf maupun perumusannya, sehingga bangunan konsepsi tasawufnya memiliki segi pemikiran logis dan rasional
  2. Penggunaan analog-analog yang secara tepat dalam mengkomunikasikan pemikiran tasawufnya
  3. Sikap aprisiatifnya terhadap akal, sehingga pemikiran tasawufnya tidak menolak akal sama sekali.

Para sufi sebelumnya untuk menenempuh tasawuf adalah jalan menuju Tuhan. Namun al Ghazali menyebut jalan menuju Tuhan sebagai aqabah, artinya tanjakan. Ini karena jalan menuju Tuhan penuh dengan rintangan, kesulitan dan tanjakan.

Menurut al Ghazali aqabah itu ada tujuh, yaitu ilmu dan ma’rifat, taubat, penghalang, godaan, pendorong, pencela dan syukur. Ia menempatkan ilmu sebagai aqabah pertama dalam jalan menuju Tuhan, karena ilmu merupakan dasar bagi segala sesuatu, yaitu dasar iman, ibadah dan pengenalan ma’rifat kepada Allah. Ilmu merupakan jalan menuju ma’rifat.

Dalam pandangan al Ghazali, ilmu tasawuf mengandung dua bagian penting, pertama, mengandung bahasan hal-hal yang menyangkut muamalah, dan bagian kedua, mengandung bahasan hal-hal yang menyangkut mukasyafah.

Ilmu mukasyafah menurut al Ghazali hanya sebagai symbol atau isyarat dan semua itu hanya dapat dipahami dengan baik bagi mereka yang telah memasuki dunia tasawuf secara mendalam dan berkesinambungan.

C.    Konsep Ma’rifat al-Ghazali

Dalam bidang tasawuf al-Ghazali membawa faham al-Ma’rifah. Namun faham al-ma’rifahnya ini berbeda dengan al-ma’rifah yang dibawa oleh Zunnun al-Misri, dan karena jasa al-Ghazali lah tasawuf dapat diterima dikalangan ahli syari’at.
Bagi al-Ghazali, ma’rifah ialah mengetahui rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya, mengenal segala yang ada. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, atau ‘arif, tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah (يَا اللهُ) atau Ya Rabb (يَا رَبُّ), karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata seperti itu.

Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.

Dalam kitab Ihya ‘Ulum al Din, al Ghazali membagi cinta menjadi empat bagian, yaitu:

  1. Mencintai seseorang karena zat dirinya
  2. Mencintai sesuatu untuk memperoleh benda itu, selain dari bendanya, maka jadilah benda itu wasilah untuk sampai pada yang dicintai yang lain dari pada benda itu sendiri
  3. Mencintai sesuatu, tidaklah dari sesuatu zat itu, tetapi untuk yang lain itu, tidaklah kembali kepada segala bahagianya di akhirat
  4. Mencintai karena Allah dan pada jalan Allah, tidak untuk memperoleh dari padanya ilmu atau pekerjaan untuk dipergunakan menjadi wasilah pada sesuatu hal dibalik orang itu sendiri.

Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.

Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali mengatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.

Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada Tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.

Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.

Menurut al-Ghazali bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Dan kebahagiaan yang sejati menurutnya ditemukan melalui ma’rifah. Ma’rifah atau ilmu sejati bukan di dapat semata-mata melalui akal. Ma’rifah itu sebenarnya adalah mengenal Tuhan (Hadrat Rububiyah), dengan kesenangan hati hanya di dapat setelah diperoleh pengetahuan yang belum diketahui. Ia menyebut ma’rifat bebarengan dengan mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifat. Mahabbah bagi al Ghazali adalah cinta seseorang kepada yangberbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia kehidupan, rezeki, kesenangan dan sebagainya.

Sarana ma’rifat menurut al Ghazali bukan akal, indera atau rasa, tetapi hati. Hati disini adalah percikan rohaniah ketuhanan (Latifah Rabbaniyah) yang merupakan kebenaran hakiki. Menurut al Ghazali, ruh, hati atau jiwa melekat di dalam jasad atau badan. Dalam hal ini jasad sebagai wadah dari ruh dan jiwa sehingga dengan bantuan jasad ruh akan memperoleh bekal hidup keduniaan dan bekal hidup akhiratnya. Ruh atau jiwa adalah esensi kemanusiaan. Adapun badan adalah pembalutnya yang bertugas sebagai alat untuk mencari bekal dan mencari kesempurnaan dalam bentuk aktifitas kehidupan dan amal perbuatan, serta untuk mencari ilmu pengetahuan sebagai dasar kelangsungan hidup. Ruh yang melekat pada tubuh manusia tidak untuk menerima dan mencari penderitaan dan kesengsaraan, tetapi untuk mencari dan menerima keselamatan, kesenangan dan kebahagiaan.

Ruh, hati atau jiwa menurut al Ghazali bersifat Ilahiyah, sehingga cenderung pada kesucian, kebersihan, kebaikan atau kebenaran. Tetapi apabila ruh kalah dengan jasad maka yang terjadi gangguan dalam kehidupan pribadinya. Untuk menjaga kesucian hati menurut al Ghazali upaya yang ditempuh adalah:

  1. Manusia harus memelihara hati atau jiwanya
  2. Manusia harus merawat dan menjaga badan atau jasadnya

Al Ghazali memandang ma’rifat sebagai tujuan akhir yang harus dicapai oleh seorang sufi, yang sekaligus kesempurnaan tertinggi yang didalamnya mengandung kebahagiaan yang tertinggi. Cara untuk memperkuat dan memantapkan ma’rifat akan Allah dalam hati adalah dengan membersihkan hati itu dari kesibukan dunia. Untuk perawatan dan pemeliharaan agar hati itu tetap istiqomah diperlukan dua kesadaran, yaitu:

  1. Kesadaran rasional, kesadaran seperti ini menunjukkan adanya penggunaan dan pengembangan akal sebagai komponen kejiwaan yang dapat membedakan benar dan salah dalam perbuatan. Menurut al Ghazali akal merupakan indera ke enam dan sebagai esensi kemanusiaan
  2. Kesadaran emosional, yang berarti timbulnya perasaan cinta pada Tuhan sebagai pencipta ala mini. Perasaan seperti ini menimbulkan pengorbanan dalam bentuk alam perbuatan yang benar dan yang baik, sesuai dengan kebaikan Tuhan sendiri.

Al-Ghazali lebih lanjut berbicara tentang teori kebahagiaan menurutnya bahwa kebahagiaan itu ada 2 macam, yaitu lezat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan). Dengan bertambah banyak yang diketahui, bertambah pula kepuasan dan kebahagiaan, itulah sebabnya orang yang lebih luas ilmunya lebih merasa berbahagia daripada orang yang kurang ilmu

Untuk mencapai sebuah kebahagiaan ada empat wahana :

  1. Keutamaan jiwa
  2. Keutamaan jasmani
  3. Keutamaan luar
  4. Keutamaan bimbingan Allah.

Mengenai konsep zuhud, al Ghazali mendefinisikan zuhud sebagai berpalingnya seorang hamba  menjauhi urusan dunia. Al Ghazali membagi tingkatan zuhud dari segi motivasi yang mendorongnya.

  1. Zuhud yang didorong oleh rasa takut terhadap api neraka dan semacamnya. Zuhud dalam tingkatan ini adalah zuhudnya para orang-orang pengecut
  2. Zuhud yang didorong oleh motif mencari kenikmatan hidup di akhirat. Zuhud dalam tingkatan ini adalah zuhudnya orang-orang yang berpengharapan dan cinta bukan ikatan takut dan ngeri
  3. Zuhud yang didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari memperhatikan apa selain Allah dalam rangka membersihkan diri dari padanya dan menganggap remeh terhadap apa selain Allah. Yaitu zuhudnya para arifin (orang-orang yang mencapai ma’rifah).

Kupasan al Ghazali tentang zuhud ini tidak lepas dari realita kehidupannya pada waktu itu. Al Ghazali juga mengatakan untuk menjaga kesucian hati ada empat tahap yang harus dilewati, yaitu:

  1. Tahap pertama, bersih badan secara lahiriah, seperti bersih dari kotoran, najis atau perkara yang menjijikkan
  2. Tahap kedua, bersih dari semua perbuatan dosa dan kesalahan
  3. Tahap ketiga, bersih hati dari perbuatan yang tercela dan rendah
  4. Tahap keempat, bersih dari syirik, yaitu mengabdikan diri selain Allah.

Kebersihan atau kesucian hati adalah pucuk dari segala ubudiyah mulai dari ajaran syari’at sampai konsep dalam tasawuf, sehingga nantinya terjadi keseimbangan antara syari’at dan tasawuf.

Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh. Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.

Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam.

Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, “… sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”

Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.

Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.

Akhir kata, apa yang telah diupayakan Al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang yang telah diraihnya-selain Al-Qusyairi dan Al-Hawari-karena telah mengembalikan tasawuf pada landasan Al Quran dan hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang mana itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat. Konsep tasawuf al-Ghazali yang moderat dan lebih condong ke tasawuf amali ini banyak umat Islam terpengaruh olehnya seluruh dunia.

SEKIAN

SEMOGA BERMANFAAT

MELIHAT KEMBALI PERKEMBANGAN BANI UMAYAH


MELIHAT KEMBALI PERKEMBANGAN BANI UMAYAH

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

(Guru Sang Dewo (SMPN 2 Pagerwojo) & Akademisi UIN Maliki Malang)

Latar Belakang Berdirinya Bani Umayah

Bani Umayah berasal dari nama Umayah Ibnu Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra. Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayah senantiasa bersaing dengan pamannya yaitu Hasim Ibnu Abdi Manaf. Sesudah datang agama Islam persaingan yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh, sebaliknya Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau yang belum. Bani Umayah baru masuk Islam setelah tidak menemukan jalan lain, ketika Nabi Muhammad Saw dengan beribu pasukannya menyerbu masuk Mekah. Dengan demikian Bani Umayah adalah orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa Rosululloh dan salah satu musuh yang paling keras sebelum mereka masuk Islam.

Setelah mereka masuk Islam mereka dengan segera memperlihatkan semangat kepahlawanannya agar orang lupa terhadap sikap dan perlawanannya terhadap Islam sebelum mereka memasukinya. Sehingga setelah masuk Islam Bani Umayah banyak berbuat jasa-jasa besar terhadap Islam. Bani Umayah merupakan awal kekuasaan dari berakhirnya Masa Khulafaur Rosyidin dengan dimulainya kekuasaan Bani Umayah maka dimulailah semangat politik Islam. Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah, pemerintahan yang dulunya bersifat demokratis akhirnya berubah menjadi monarki heridetis (kerajaan yang turun – temurun) hal ini dimulai ketika Muawiyah mewajibkan suluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya Yazid. Dia tetap menggunakan istilah kholifah namun memberikan interpretasi baru dari kata–kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Yakni dengan menyebut kholifah Allah yaitu penguasa yang dianggap oleh Allah.
Peradaban Bani Umayah

Dinasti Bani Umayah yang didirikan oleh Muawiyah berumur sekitar 90 tahun. Adapun nama-nama kholifah yang telah memimpin adalah Muawiyah, Ibnu Abu Sofyan, Abdul Malik Ibnu Marwan, Alwalid Ibnu Malik, Umar Ibnu Abdul Azis, Hisyam Ibnu Abdi malik. Pada masa Walid Ibnu Abdul Malik, Thoriq Bin Ziyad pemimpin pasukan Islam mendarat di Gibraltar (Jabal Thoriq) sehingga tentara spanyol dapat dikalahkan yang akhirnya menguasai ibukota sepanyol (cordova). Pasukan islam menang dengan mudah karena mendapat dukungn dari masyarakat setempat sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Wilayah kekuasaan pada masa Bani Umayah sangat luas yang meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, Usbekistan, Kilkis, Asia tengah.

Disamping kekuasaan Islam Bani Umayah juga berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang antara lain:

  • Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
  • Menertibkan angkatan bersenjata.
  • Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
  • Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri .
  • Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
  • Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.
  • Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya.
  • Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.

Sebab-Sebab Keruntuhan Bani Umayah

Dinasti Bani Umayah telah hidup kira-kira 90 tahun banyak sebab yang mengakibatkan jatuhnya Bani Umayah. Keluarga itu telah membunuh sehingga tidak mungkin di perbaiki. Muawiyah telah mengesampingkan prinsip Replublikanisme diganti dengan monrchi turun temurun. Prinsip Islam bahwa Kepala Negara harus dipilih oleh rakyat tidak dijalankan dengan demikin Bani Umayah kehilangan dukungan penuh dan kerjasama dari rakyat. Kelemahan keluarga merupakan sebab pertama dan terpenting bagi kejatuhan Dinasti Umayah diantara khalifahnya kecuali Muawiyah dan Abdul Malik. Selain kedua itu kholifah-kholifah yang lain telah banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran. Untuk menghabiskan waktu kebanyakan mereka gunakan untuk berburu dan minum anggur dan lebih sibuk dengan syair-syair dari pada dengan Qur’an dan urusan-urusan Negara karena harta kekayaan yang melimpah dan budak yang berlebihan sehingga melemahkan semangat hidup masyarakt arab yang masih muda.

Kelalaian kholifah dalam urusan administratif dan tidak adanya perhatian terhadap tugas-tugas Negara membuat Bani Uamayah sangat tidak disukai. Para pejabatnya banyak yang koruposi, banyak yang mementingkan diri sediri dan akibatnya pemerintahan menjadi lamban dan tidak efisien. Persaingan antar suku yang sudah lama, tidak semakin membaik tetapi malah semakin buruk banyak penentangan dari kaum Syiah yang tidak melupakan tragedi Karbala. Ketidakacuan serta perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi, kutukan terhadap khutbah-khutbah dan propaganda anti Bani Ali memeperkuat Bani Umayyah. Kaum Syiah memperoleh simpati rakyat karena kecintaan mereka yang sepenuh hati terhadap keturunan Nabi.

Akhirnya gerakan Abbasiyah memberikan pukulan mematikan terhadap imperium yang sedang sempoyongan itu. Kaum Syiah dan para pendukung Ali juga menyokong gerakan ini. Bahkan kaum Khowarij dan orang-orang Islam non-non Arab (Mawali) dengan piawai ditarik kedalam gerakan ini. Abu Muslim pemimpin pemberontakn ini secara khas sangat cocok dengan tugas yang dipercayakannya oleh Imam Abbasiyah. Karena banyaknya dukungan itu akhirnya Bani Abbasiyah berhasil menggulingkan Bani Umayah. Sehingga dengan jatuhnya Bani Umayah keagungan Siria dan Hegem dan negerinya sirna mereka terlambat menyadari inti kekuatan didalam Islam telah meninggalkan negeri mereka dan persatuan dan kesatuan dari dalam Islam sangatlah penting didalam mempertahankan pemerintahan.

Setelah melihat pembahasan diatas maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa jatuhnya Bani Umayah disebabkan karena beberapa faktor. Antara lain:

  • Latar belakang terbentuknya Bani Umayah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi pada masa Ali. Sisa-sisa Syiah dan Khowarij terus menjadi gerakan oposisi.
  • Sistem pergantian kholifah yang melalui garis keturunan lebih menekankan aspek senioritas pengaturan tidak jelas sehingga terjadi persaingan tidak sehat dikalangan istana.
  • Sikap hidup mewah dilingkungan istana yang mengakibatkan lemahnya pemerintahan.
  • Munculnya kekuatan baru yang dipelopori Al-Abas Ibnu Mutholib yang mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim, golongan Syiah dan kaum Mawali yang merasa di kelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayah.

SEKIAN

SEMOGA BERMANFAAT