SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PADA ZAMAN YUNANI KUNO


SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

PADA ZAMAN YUNANI KUNO

(Telaah Sejarah Filsafat)

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

(Guru Sang Dewo (SMPN 2 Pagerwojo) & Akademisi UIN Maliki Malang)

A.     Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap. Oleh karena itu, untuk memahami sejarah perkembangan ilmu kita harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena secara periodik menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Untuk menelusuri filsafat Yunani, perlu dijelaskan terlebih dahulu asal kata filsafat. Sekitar abad IX SM atau paling tidak tahun 700 SM di Yunani, Sophia diberi arti kebijaksanaan; sophia juga berarti kecakapan. Kata philosophos mula-mula dikemukakan dan dipergunakan oleh Heraklitos (540-480 SM), sementara ada yang mengatakan bahwa kata tersebut mula-mula dipakai oleh Pythagoras (580-500 SM). Namun pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa Heraklitos-lah yang menggunakan istilah tersebut. Menurutnya, philosophos (ahli filsafat) harus mempunyai pengetahuan luas sebagai pengejawantahan daripada kecintaannya akan kebenaran dan mulai benar-benar jelas digunakan pada kaum sofis dan sokrates yang memberi arti philosophein sebagai penguasaan secara sistematis terhadap pengetahuan teoritis. Philosophia adalah hasil dari perbuatan yang disebut philosophein, sedangkan philosophos adalah orang yang melakukan philosophein. Dari kata Philosophia inilah akhirnya timbul kata-kata philosophie (Belanda, Jerman, Perancis), philosophy (Inggris), dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat atau falsafat.

Mencintai kebenaran/pengetahuan adalah awal proses manusia mau menggunakan daya pikirnya, sehingga mampu membedakan mana yang riil dan mana yang ilusi. Penemuan demi penemuan yang dilakukan pada waktu itu hingga zaman sekarang ini tidaklah terpusat disatu tempat atau wilayah tertentu. Penemuan-penemuan yang menyebar dari Babylonia, Mesir, Cina, India, Irak, Yunani, hingga ke daratan Eropa membuktikan bahwa manusia selalu dihadapkan pada tantangan alam, situasi, dan kondisi yang mengacu daya kreatifitas.

Kita melihat bahwasanya sekarang ini Eropa merupakan sentral atau gudang ilmu pengetahuan, maka dalam sejarah perkembangan ilmu terbukti bahwa sumbangsih dunia timur bagi kemajuan ilmu pengetahuan hingga sekarang ini sangatlah besar. Banyak penemuan yang terjadi di dunia timur yang baru dikembangkan belakangan di dunia barat. Namun perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani.

Oleh karena itu, periodesasi perkembangan ilmu yang disusun mulai dari peradaban Yunani kemudian diakhiri pada penemuan-penemuan pada zaman kontemporer. Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, penyusun mencoba mengkaji tentang perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Yunani kuno yang kami ambil dari beberapa referensi yang ada.

Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berangkat dari tradisi pemikiran para filsafat barat berawal dari abad ke 7 SM yang ditandai dengan runtuhnya mite dan dongeng yang selama ini dipercaya menjadi referensi pengetahuan manusia.

Zaman Yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa ini orang memiliki kebebasan mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap menerima begitu saja, melainkan menumbuhkan sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis.

Sikap kritis inilah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli pikir-ahli pikir terkenal sepanjang masa. Pada masa ini Filsafat lebih bercorak “kosmosentris”, artinya para filsuf pada waktu itu mengarahkan perhatian mereka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan asal mula terjadinya alam semesta. Mereka berupaya mencari jawaban tentang prinsip pertama (arkhe) dari alam semesta, oleh karena itu mereka lebih dikenal dengan julukan “Filsuf-Filsuf Alam”.

B.      Para Tokoh Filosuf yang Mencurahkan Perhatiannya pada Alam Semesta

         Thales (624-548 SM)

Thales berasal dari Miletus, ia mendapat gelar Bapak Filsafat karena dialah orang yang bermula-mula berfilsafat. Gelar itu diberikan karena ia mengajukan pertanyaan yang amat mendasar yang jarang dipertanyakan orang, juga orang pada zaman sekarang, yaitu mengenai “Apa sebenarnya asal-usul alam semesta ini?”, pertanyaan ini sangat  mendasar, terlepas apapun jawabannya. Namun yang penting adalah pertanyaan itu dijawabnya dengan pendekatan rasional, bukan dengan pendekatan mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan asal alam adalah air, karena air adalah unsur terpenting bagi setiap makhluk hidup. Air dapat berubah menjadi benda gas dan padat seperti uap dan es, dan bumi ini juga berada di atas air.

         Anaximandros (610-540 SM)

Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Dia tidak setuju unsur pertama alam adalah salah satu dari unsur-unsur  yang ada, seperti air atau tanah. Unsur utama alam adalah harus mencakup segalanya dan di atas segalanya, yang dinamakan apeiron. Ia adalah air, maka air harus meliputi segalanya, termasuk api yang merupakan lawannya. Padahal tidak mungkin air menyingkirkan anasir api. Karena itu, Anaximandros tidak puas dengan menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip alam, tetapi dia mencari yang lebih dalam yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indera.

Anaximandros mengatakan bahwa itu adalah udara. Udara merupakan sumber segala kehidupan, demikianlah alasannya.

         Heraklitos (540-480 SM)

Heraklitos berasal dari Ephesos, Asia kecil. Ia berpendapat bahwa tiap-tiap benda terdiri dari hal-hal yang saling berlawanan dan yang berlawanan itu tetap merupakan kesatuan. Baginya tidak ada sesuatu pun yang bersifat tetap. Tidak ada yang benar-benar ada karena semuanya menjadi berubah. Perubahan dapat dinyatakan dengan dua cara: pertama, seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir, kedua, seluruh kenyataan adalah api. Ucapannya yang terkenal adalah “Engkau tidak dapat turun dua kali ke dalam sungai yang sama” dan “Panta rhei kai uden menei” yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tetap.

Jadi Heraklitos dalam melihat alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah. Sesuatu yang dingin berubah menjadi panas, yang panas berubah menjadi dingin. Itu berarti bahwa bila kita hendak memahami kehidupan kosmos, kita harus menyadari bahwa kosmos itu dinamis. Segala sesuatu saling bertentangan dan dalam pertentangan itulah kebenaran.

Itulah sebabnya ia mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan disisi lain dapat melunakkan es. Artinya api adalah aktor pengubah dalam ala mini, sehingga api pantas dianggap sebagai simbul perubahan itu sendiri.

         Parmenides (515-440 SM)

Parmenides lahir di Elea Italia Selatan. Parmenides adalah seorang tikoh relativisme yang penting karena dia adalah seorang logikawan pertama dalam sejarah filsafat, bahkan dapat dikatakan sebagai filosuf pertama dalam pengertian modern. Sistemnya secara keseluruhan disandarkan pada deduksi logis, tidak seperti Heraklitos, menurutnya realitas alam seluruhnya bukanlah sesuatu yang lain dari pada gerak dan perubahan. Sedangkan menurut Parmenides gerak dan perubahan tidak mungkin terjadi. Menurutnya realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Dia menegaskan bahwa yang ada itu ada, inilah kebenaran.

Benar tidaknya suatu pendapat diukur dengan logika, dari pandangan ini dia mengatakan bahwa alam tidak bergerak, tetapi diam karena alam itu satu, yaitu ada dan yang ada itu satu. Dia menentang pendapat Heraklitos yang mengatakan mengatakan bahwa alam selalu bergerak. Gerak alam yang terlihat menurut Parmenides adalah semu, sejatinya alam itu diam.

Menurutnya ada dua pengetahuan: pengetahuan rasional dan pengetahuan inderawi. Apabila dua pengetahuan itu bertentangan, maka orang harus berpihak pada rasio (logos).

         Pythagoras (580-500 SM)

Pythagoras adalah kelahiran Pulau Samos, Ionia. Ia dikenal sebagai filsuf dan juga ahli ukur. Ia mengembalikan segala sesuatu kepada bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan (kuantitas). Karena itu, dia berpendapat bahwa bilangan adalah unsure pertama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Kesimpulan ini ditarik dari kenyataan bahwa realitas alam adalah harmoni antara bilangan dan gabungan antara dua hal yang berlawanan.

Kalau segala-galanya adalah bilangan, itu berarti bahwa unsur bilangan merupakan juga unsur  yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tak terbatas. Demikian juga seluruh jagad raya merupakan suatu harmoni yang mendamaikan hal-hal yang berlawanan. Artinya, segala sesuatu berdasarkan dan dapat dikembalikan pada bilangan.

Jasa Pythagoras ini sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan di kemudian hari sampai hari ini sangat tergantung pada pendekatan matematika. Galileo menegaskan bahwa alam ditulis dalam bahasa matematika. Dalam filsafat ilmu, matematika merupakan sarana ilmiah yang terpenting dan akurat karena dengan pendekatan matematika-lah ilmu dapat diukur dengan benar dan akurat. Di samping itu, matematika dapat menyederhanakan uraian yang panjang dalam bentuk simbul, sehingga lebih cepat dipahami.

Setelah berakhirnya masa para filosof alam, maka muncul masa transisi, yakni penelitian terhadap alam tidak menjadi focus utama, tetapi sudah mulai menjurus pada penyelidikan pada manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga muncullah kaum “sofis”. Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran.

C.      Para Tokoh Filosuf yang Muncul pada Masa Transisi dan yang Menjadikan Manusia sebagai Tolok Ukur Kebenaran

Pratagoras (481-411 SM)

Ia menyatakan bahwa “Manusia adalah ukuran kebenaran”. Pernyataan ini merupakan cikal bakal humanisme. Pertanyaan yang muncul adalah apakah yang dimaksudnya itu manusia individu atau manusia pada umumnya. Memang dua hal itu yang menimbulkan konsekuensi yang sungguh berbeda. Namun tidak ada jawaban yang pasti, mana yang dimaksud oleh Protagoras. Yang jelas ialah, bahwa ia menyatakan kebenaran itu bersifat subyektif dan relative. Akibatnya tidak akan ada ukuran yang absolute dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolute.

Gorgias (483-375 SM)

Ia datang ke Athena pada tahun 427 SM dari Leontini. Menurut dia ada tiga proposisi: pertama; tidak ada yang ada, maksudnya realitas itu sebenarnya tidak ada. Pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Kedua; bila sesuatu itu ada ia tidak akan dapat diketahui. Ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita bahwa alam semesta ini karena akal kita telah diperdaya oleh dilemma subjektifitas. Kita berpikir sesuai dengan kemauan ide kita, yang kita terapkan pada fenomena. Proses ini tidak akan menghasilkan kebenaran. Ketiga; sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Sikap Gorgias ini dipandang oleh sebagian filosof sebagai pandangan nihilisme, yakni kebenaran itu tadak ada. Jadi dia lebih extrim dibandingkan dengan Protagoras.

Pengaruh positif gerakan sofis cukup terasa karena mereka membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka mengingatkan filsof bahwa persoalan pokok alam filsafat bukanlah alam melainkan manusia. Mereka telah membangkitkan jiwa humanisme. Mereka tidak memberikan jawaban tentang etika, agama dan metefisika. Ini membuka peluang bagi para filosof untuk lebih kreatif lagi berfikir. Pandangannya mengenai relatifitasnya moral telah mengilhami munculnya utilitarianisme, pragmatisme, positivisme, dan eksistensialisme.

Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru. Dalam filsafat ilmu, pandangan relative tentang kebenaran menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses mencari ilmu. Karena itu, ilmu itu terbatas, tetapi proses mencari ilmu tidak terbatas. Namun para filosof setelah kaum sofis tidak setuju dengan pandangan tersebut seperti Socrates, Plato dan Aristoteles.

D.     Para Tokoh Filosuf yang Mencurahkan Perhatiannya terhadap Suatu Masalah dengan Cara yang Rasional

         Socrates (470-399 SM)

Socrates adalah anak seorang pemahat yang bernama Sophoniscos dan seorang bidang yang bernama Phainarete. Ia meninggal karena dihukum minum racun. Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri.

Socrates tidak pernah meninggalkan tulisan, namun pemikirannya dikenal melalui dialog-dialog yang ditulis oleh muridnya Plato. Metode Socrates dikenal sebagai Meieutike Tekhne (ilmu kebidanan) yaitu suatu metode dialektika untuk melahirkan kebenaran. Socrates selalu mendatangi orang yang dia pandang memiliki otoritas keilmuan dalam bidangnya untuk diajak berdiskusi. Socrates lebih mementingkan metode dialektika itu sendiri dari pada hasil yang diperoleh.

Jadi meskipun Socrates tidak meninggalkan teori-teori ilmu tertentu, namun ia meninggalkan suatu sikap kritis melalui metode dialektika yang akan berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan modern.

Plato (427-347 SM)

Plato adalah salah seorang murid dan teman Socrates, ia memperkuat pendapat gurunya dengan cara menulis ide-ide Socrates. Menurutnya, esensi itu mempunyai realitas dan realitasnya ada di alam idea. Kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea.

Plato berhasil mensintesakan antara pandangan Heraklitos dan Parmenides. Menurut Heraklitos segala sesuatu berubah, sedangkan Parmenides mengatakan sebaliknya, yaitu segala sesuatu itu diam. Untuk mendamaikan pandangan ini Plato berpendapat bahwa pandangan Heraklitos benar, tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja. Sedangkan pendapat Parmenides juga benar, tetapi hanya berlaku bagi idea-idea bersifat abadi dan idea inilah menjdai dasar bagi pengenalan yang sejati.

Plato juga sangat memperhatikan ilmu pasti sebagai peninggalan Pythagoras. Sebab ada hubungan yang erat antara kepastian, matematis, dengan kesempurnaan idea. Keterikatan Plato pada kesempurnaan idea dan kepastian matematik menjadikannya lebih memusatkan penelitian kepada cara berpikir (aspek metodis) dari pada apa yang dapat ditangkap oleh indera. Oleh karena itu, Plato dapat dikatakan seorang eksponen rasionalisme manakala ia hendak menerangkan sesuatu, namun ia juga seorang eksponen idealisme manakala menerangkan bidang nilai (aksiologis).

Aristoteles (384-322 SM)

Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles. Aristoteles adalah murid Plato dan penasihat serta guru Iskandar Agung. Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stagira, sebuah kota di Thrace. Ayahnya meninggal tatkala ia masih sangat muda. Ia diambil oleh Proxenus, dan orang ini memberikan pendidikan yang istimewa kepadanya. Tatkala Aristoteles berumur 18 tahun, ia dikirim ke Athena dan dimasukkan ke akademi Plato.

Aristoteles adalah seorang filosuf yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu system; yaitu logika, matematika, fisika dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis: yakni premis mayor, premis minor dan konklusi.

–          Semua manusia akan mati       (premis mayor)

–          Aristoteles seorang manusia    (premis minor)

–          Aristoteles akan mati                  (konklusi)

Logika Aristoteles ini juga disebut dengan logika deduktif yang mengukur valid atau tidaknya sebuah pemikiran.

Dalam bidang fisika, Aristoteles membagi gerak pada dua macam, yaitu gerak aksidental dan gerak substansial.

Aristoteles yang pertama kali membagi filsafat pada dua hal yang teoritis dan praktis. Yang teoritis mencakup logika, metafisika dan fisika. Sedangkan yang praktis mencakup etika, ekonomi dan politik. Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman juga bagi klasifikasi ilmu dikemudian hari. Aristoteles dianggap sebagai bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.

Filsafat Yunani yang rasional itu boleh dikatakan berakhir setelah Aristoteles menuangkan pemikirannya. Akan tetapi sifat rasional itu masih digunakan selama berabad-abad sesudahnya, sampai sebelum filsafat benar-benar memasuki dan tenggelam pada abad pertengahan. Namun jelas, setelah periode Socrates, Plato dan Aristoteles mutu filsafat semakin merosot. Kemunduran filsafat itu sejalan dengan kemunduran politik pada waktu itu, yaitu sejalan dengan terpecahnya kerajaan Macedonia menjadi pecahan-pecahan kecil imperium besar yang dibangun oleh Alexander the Great kemudian Alexander meninggal dunia.

REFERENSI

Bahtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu.  cet. 2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Bertans, K. 1981. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.

Mustansyir, Rizal. 2004. Filsafat Analitik Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokoh. cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tafsir, Ahmad. 2001. Filsafat Umum. Cet. 9. Bandung: PT Rosda Karya.

TIM Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM. ….. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

Revertz, Jerome R. 2004. Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu. cet. 1 Yogyakarta: Lesfi.

SEKIAN

SEMOGA BERMANFAAT