PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ISLAM


PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

(Guru Sang Dewo (SMPN 2 Pagerwojo) & Akademisi UIN Maliki Malang)

 

A.     Latar Belakang

Pendidikan Islam berlangsung dari zaman dahulu sampai sekarang untuk mencapai hal itu atau insan kamil. Tujuannya yang ingin dicapai sama, hanya saja proses dan tantangan yang dihadapinya berbeda. Pendidikan Islam masa lalu sempat mengalami masa kejayaan dan hal itu memunculkan tiga aliran. Ketiga aliran tersebut adalah aliran teologi, mistik dan filsafat. Dalam perkembangannya pendukung aliran ini saling bertikai satu sama lain. Hal tersebut mengakibatkan mulai adanya dikotomi ilmu pengetahuan dan yang terjadi adalah satu dengan yang lainnya saling menyingkirkan, akhirnya pada periode sesudahnya filsafat tersingkir .

Pendidikan Islam pada masa lalu terjadi pada lembaga-lembaga yang berupa kuttab atau maktab, masjid jami’, madrasah, dar al-ilm, ribath, khanqah, dan zawiyah. Pendidikannya terjadi dalam sistem khalaqah. Sedangkan obyek pengajarannya yang pertama yaitu al-Qur’an, yang meliputi membaca dan menulis serta mempelajari bahasa al-Qur’an. Pada masa lalu pendidikan Islam yang pernah mencapai kejayaan mampu mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan yang meliputi, ilmu pengetahuan umum dan filsafat, ilmu agama, dan ilmu bahasa. Tiga macam cabang ilmu tersebut sebenarnya tidak perlu dikotomikan, karena asalnya dari satu yaitu dari ayat-ayat Allah.

Untuk mengadakan dan menyokong pendidikan Islam yang kuat, diperlukan lembaga atau institusi pendidikan Islam yang tidak hanya mengajarkan ilmu dalam satu perspektif saja, namun juga dibutuhkan berbagai institusi. Dan untuk merealisasikan itu semua, dibutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Akan tetapi, pada zaman dahulu pembiayaan pendidikan tersebut tidak mengalami masalah seperti halnya pembiayaan pendidikan pada masalah. Pendidikan Islam pada masa lalu mengalami keemasan, hal itu disamping didukung oleh faktor akademik, namun juga non-akademik yang berupa pembiayaan pendidikan. Khalifah pada masa lalu juga menanggung dan membiayai pendidikan. Pada zaman keemasan Islam dahulu, wakaf merupakan sumber keuangan penting bagi pembangunan negara. Razali Othman, sebagaimana dikutip oleh Suhrawardi, mengemukakan bahwa pada zaman keagungan Islam, sektor-sektor pendidikan, kesehatan, kebajikan, penelitian dan sebagainya disumbangkan melalui sumber dana wakaf.

B.     Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Lalu

Pendidikan Islam pada masa lalu sempat mengalami masa keemasan. Hal itu dibuktikan dengan catatan para peneliti sejarah pendidikan Islam mengenai nama-nama lembaga pendidikan yang pernah muncul dalam sejarah Islam di masa klasik dan telah memberi jasa besar bagi perkembangan intelektual dalam Islam. Lembaga-lembaga pendidikan itu di antaranya adalah seperti Dar al-Hikmah, al-Khanat, al-Bimaristan, ar-Ribath, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, akhirnya muncul lembaga pendidikan yang tertata rapih dan proses pendidikan dan pengajarannya berlangsung secara lebih sistematis. Inilah yang disebut madrasah, lembaga pendidikan yang dapat dikatakan sebagai puncak dari  perkembangan lembaga pendidikan, tempat proses belajar-mengajar berlangsung dalam Islam.

Pada masa awal perkembangan madrasah tersebut, tidak ada jadwal pelajaran yang teratur. Seorang murid bebas menentukan dan meneruskan pelajarannya selama ia memiliki kecerdasan dan kesanggupan dan  gurunya memadai untuk maksud tersebut. Waktu bukanlah faktor utama untuk menyelesaikan pendidikan dan pengajaran, begitu pula usia tidak menjadi syarat utama. Proses belajar-mengajar pada saat itu berlangsung secara sederhana. Guru membacakan pelajaran dari satu teks. Murid menyalin teks tersebut sebagaimana yang dibacakan gurunya. Murid kemudian membacakan secara lantang teks tersebut. Namun pada periode selanjutnya proses tersebut berkembang.

Pengembangan pendidikan Islam dengan pendirian berbagai madrasah terus dilakukan. Pembicaraan mengenai awal kebangkitan madrasah sebagaimana telah dibicarakan di muka, selalu dikaitkan dengan nama Nizham al-Mulk (w. 485 H/1092 M), salah seorang wazir Dinasti Saljuq. Dialah  yang membangun sejumlah madrasah yang kemudian disebut “madrasah Nizhamiyah” di berbagai tempat/ kota utama daerah kekuasaan Dinasti Saljuq. Peran pentingnya bukanlah sebagai orang pertama yang mendirikan madrasah, tetapi lebih pada semangatnya untuk membangun sejumlah lembaga tinggi tersebut secara besar-besaran.

Hal tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pendirian madrasah itu belum mencakup pendirian masjid, perpustakaan, dan institusi-institusi pendidikan Islam yang lainnya. Gaji guru yang mengajar di berbagai institusi tersebut juga diperhitungkan. Guru pada masa itu memperoleh gaji yang cukup besar. Hal itu terbukti dari pernyataan Ahmad Taufiq, bahwa gaji para Dosen Madrasah Nidzamiyyah sangatlah besar, bahkan Imam Ghazali pada saat beliau masih menjadi Guru Besar, dengan gaji yang beliau terima dapat membeli kuda yang sangat mahal. Bahkan paling mahal dan paling bagus kala itu. Sebab selain mengajar, Imam Ghazali tidak memiliki usaha lain sebagai pemasukan keuangan keluarga.

Statemen di atas menunjukkan bahwa pembiayaan pendidikan Islam pada masa kejayaan Islam ditanggung oleh negara atau khalifah yang berkuasa pada masa itu. Pada makalah ini penulis tidak menjelaskan secara panjang lebar mengenai perkembangan institusi pendidikan Islam pada masa itu, karena akan cukup panjang dan tidak tepat dengan judul makalah ini. Pada intinya, pada masa lalu, institusi pendidikan Islam mulai dari masa Nabi Muhammad sampai pada periode keemasan peradaban Islam didirikan dan pembiayaannya ditanggung pemerintah. Masalah yang cukup unik dalam hal ini adalah mengapa negara menanggung pembiayaan pendidikan Islam pada masa itu? Permasalahan tersebut akan berusaha penulis kupas secara rinci dalam subbab di bawah ini.

C.     Pembiayaan Pendidikan Islam Ditanggung Oleh Negara

Hal yang membedakan antara Islam dengan neoliberalisme adalah dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara. Seperti lembaga pendidikan Nizamiyah yang pernah didirikan pada masa dinasti Abbasiyah dan lain sebagainya, ditopang oleh subsidi yang berasal dari hasil pengumpulan zakat harta yang menjadi salah satu ajaran Islam yang disyari’atkan. Artinya kondisi yang demikian itu memang menuntut untuk mengalokasikan dana khusus dari baitul mal untuk kepentingan pendidikan.

Hal tersebut dikarenakan negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara.

Tandensi atau dasar dari hal ini adalah hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggung jawaban terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi anggota keluarganya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap mereka. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban terhadapa apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin bagi harta majikannya, dan dia juga akan dimintai pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Dan ingat setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinannya.

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat. Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis.

Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu. Contoh lain yang merupakan bukti bahwa pendidikan Islam dibiayai oleh negara adalah Nizham Al-Mulk mengeluarkan anggaran belanja yang luar biasa besarnya untuk membiayai pendidikan. Ia mengeluarkan anggaran untuk pendidikan sebesar 600.000 dinar atau lebih dari 100 trilyun rupiah setiap tahun untuk seluruh madrasah dibawah pemerintah.

Hal yang penulis sebutkan di atas merupakan bukti konkrit yang menunjukkan bahwa pendidikan Islam dalam penyelenggaraannya dibiayai oleh pemerintah.

D.     Sumber-Sumber Pembiayaan Pendidikan Islam

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (baitul mal). Terbentuknya bait al-mal tersebut dimulai pada masa Umar ibn al-Khatthab. Dimana untuk menunjang kelancaran administrasi dan operasional tugas-tugas eksekutif, Umar melengkapi eksekutifnya dengan beberapa jawatan, antara lain:

  1. Dewan al-Kharraj (Jawatan Pajak)
  2. Dewan al-Addats (Jawatan Kepolisian)
  3. Nazar al-Nafiat (Jawatan Pekerjaan Umum)
  4. Dewan al-Jund (Jawatan Militer)
  5. Bait al-Mal (Lembaga Pembendaharaan Negara).

Hal itu membuktikan bahwa pada Umar telah ada bait al-mal. Di samping itu, dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur.

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan bait al-mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: pertama, pos fai` dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara, seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak). Kedua, pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat. Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin. Biaya pendidikan dari bait al-mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk dua kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya.

Di samping itu, biaya pendidikan Islam biasanya juga diperoleh dari waqaf. Meskipun pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf.

Para pembesar negara pada masa itu, dengan kekayaan mereka, banyak yang melakukan maksiat dan bermewah-mewahan, sehingga dengan mendirikan sekolah-sekolah tersebut mereka ikut mewaqafkan hartanya ke jalan Allah dengan harapan sebagai penebus dosa Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu. Seperti wakaf untuk ilmuwan hadits, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu al-Qur`an. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan.

Akhirnya, dapat disimpulkan dalam Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Sedangkan melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non formal yang juga gratis atau paling tidak murah bagi rakyat.

Referensi

Laila, Siti Noer Farida, Diktat Sejarah Pendidikan Islam, Tulungagung: Tidak Diterbitkan, 2002.

Fajar, Abdullah, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1991.

Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, Hizbut Tahrir : t.p., 1963.

al-Naisyaburi, Muslim, Shahih Muslim, juz 9, Mauqi’u al-Islam: Dalam Software Maktabah Syamilah, 2005.

Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Bina Aksara, 1994.

SEKIAN

SEMOGA BERMANFAAT

Leave a comment